Perempuan Curangi Berlian Rp 50 Juta Meski Bawa Tas Hermes, Psikolog Soroti Pengaruh Lingkungan

Posted on

Perempuan dengan Tas Hermes yang Tertangkap Mencuri Kalung Berlian

Seorang perempuan tertangkap tangan saat mencuri kalung berlian senilai Rp 50 juta di salah satu mal di Jakarta Utara. Aksi tersebut terjadi pada Senin (4/8/2025). Meski penampilannya menunjukkan kesan mewah dengan tas Hermes, yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah, tindakan yang dilakukannya justru bertentangan dengan gaya hidupnya.

Menurut informasi yang diperoleh, tindakan perempuan itu diduga dilakukan untuk memenuhi gaya hidup yang ingin ia tunjukkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana seseorang bisa sampai melakukan hal ekstrem hanya demi mengejar status sosial dan pamer.

Fleksing: Tren Pamer Harta demi Gengsi

Tren fleksing semakin marak dalam masyarakat modern, terutama dengan adanya media sosial yang memperluas lingkup pengaruh. Banyak orang merasa perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, meskipun tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan media sosial, orang lebih mudah mengetahui kehidupan orang lain, sehingga muncul rasa ingin tidak kalah atau takut direndahkan.

Dalam lingkaran pertemanan yang konsumtif, tekanan untuk ikut-ikutan sangat besar. Misalnya, jika lingkungan menggemari barang branded, bepergian ke luar negeri, atau mengikuti arisan mewah, seseorang bisa merasa terpaksa mengikuti gaya hidup tersebut. Bahkan, beberapa orang rela melakukan hal ekstrem hanya agar tidak merasa tersingkir.

Bahaya Fleksing dan Pencitraan

Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan menjelaskan bahwa dorongan untuk mengikuti gaya hidup orang lain sering kali bukan berasal dari kebutuhan nyata, melainkan keinginan untuk dilihat oleh orang lain. Validasi sosial menjadi tujuan utama, bukan kenyamanan atau kebahagiaan pribadi.

Tujuannya adalah untuk pamer atau fleksing. Seseorang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan image tertentu, baik itu pengakuan maupun penerimaan dari lingkungan. Sayangnya, ketika seseorang terus-menerus memaksakan diri, banyak hal bisa dikorbankan. Kebutuhan pokok sering kali diabaikan demi tampil di acara tertentu atau memiliki barang mahal.

Bagaimana Menghadapi Lingkungan Konsumtif?

Jika seseorang sudah berada di lingkungan sosial mewah namun tidak ingin terus-menerus ikut arus, penting untuk membuat batasan. Batasan ini tidak berarti menjauh secara sosial, tetapi lebih pada mengenal diri sendiri secara lebih dalam. Orang yang ingin panjat sosial sering kali melakukan segala hal untuk dilihat orang dan diakui.

Kunci untuk tidak terjebak dalam tekanan sosial adalah sadar diri. Seseorang perlu tahu mana yang prioritas dan mana yang hanya dorongan sesaat untuk terlihat “cukup”. Mindset seperti “tidak ada rotan, akar pun jadi” merupakan mindset orang yang memiliki daya tahan tinggi.

Pilih Lingkungan yang Sehat

Lingkungan sosial yang sehat harus mendukung kesehatan mental, bukan merusaknya. Jika pergaulan membuat seseorang terus merasa tertekan, minder, atau harus memalsukan identitasnya, maka itu bukan tempat yang tepat. Kita butuh teman yang bisa menerima kita apa adanya.

Kesehatan mental bukan hanya tentang bisa menyelesaikan masalah, tetapi juga tentang mampu bertahan dan merasa nyaman dalam realitas hidup yang kita jalani. Tidak semua orang cocok berada di lingkungan dengan gaya hidup mewah, dan hal itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Kesehatan psikologis lebih penting daripada pencitraan sosial.

Hidup dengan Realita Sendiri

Pada akhirnya, hidup dengan realita sendiri adalah kunci kebahagiaan. Membuat batasan bukan berarti menolak lingkungan, tetapi menjaga diri tetap waras dan bahagia dalam versi hidup kita sendiri, apa adanya. Kesehatan diri lebih penting dibanding pencitraan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *