Perdana Menteri Jepang Ishiba Pilih Tetap Bertahan Meski LDP Kalah Berat Sejak 1955

Posted on

Perdana Menteri Jepang Tetap Bertahan Meski Kekalahan Pemilu

Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, menegaskan bahwa ia akan tetap memimpin negara meskipun koalisi pemerintahannya mengalami kekalahan dalam pemilu majelis tinggi. Kekalahan ini berpotensi memicu ketidakstabilan politik dan menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan.

Dalam hasil pemilu terbaru, koalisi Partai Demokrat Liberal (LDP) dan Komeito gagal meraih 50 kursi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kendali. Proyeksi NHK menunjukkan bahwa koalisi hanya meraih 47 kursi, yang merupakan kekalahan terbesar LDP sejak partai tersebut berdiri pada tahun 1955. Meski demikian, Ishiba menolak untuk mundur dari jabatannya.

Ishiba menyatakan bahwa ia masih memiliki tanggung jawab besar bagi negara, termasuk mendorong kenaikan upah di atas tingkat inflasi, mewujudkan PDB sebesar triliun yen, serta menghadapi dinamika keamanan regional yang semakin kompleks. Ia juga menambahkan bahwa meskipun perhitungan suara belum selesai, LDP diperkirakan masih menjadi partai dengan jumlah kursi terbanyak di parlemen.

Hasil pemilu menunjukkan penurunan dukungan terhadap LDP dan Komeito, terutama akibat keresahan publik terhadap kenaikan biaya hidup. Partai-partai populis yang menawarkan potongan pajak atau retorika anti-imigran mengalami lonjakan dukungan signifikan. Hal ini membuat investor khawatir bahwa pemerintah akan terpaksa memberikan konsesi kepada oposisi, seperti pemangkasan pajak penjualan, yang bisa memperlebar defisit anggaran dan meningkatkan imbal hasil obligasi pemerintah.

Nilai tukar yen sempat naik sebesar 0,7% di awal perdagangan Senin, namun penguatan tersebut kemudian memudar. Tiga Perdana Menteri LDP terakhir yang kehilangan mayoritas di majelis tinggi mengundurkan diri dalam waktu dua bulan, termasuk Shinzo Abe pada 2007. Kekalahan ini kini menempatkan Ishiba dalam tekanan besar, terlebih karena Jepang harus mencapai kesepakatan dagang dengan Presiden AS Donald Trump sebelum tenggat waktu 1 Agustus, agar tarif ekspor Jepang tidak meningkat menjadi 25%.

Peta Politik yang Terfragmentasi

Meskipun oposisi berhasil meraih kemenangan, peluang mereka untuk membentuk pemerintahan alternatif masih rendah karena partai-partai oposisi terpecah dalam lebih dari 10 partai. Kemungkinan terbesar adalah parlemen akan terjebak dalam kebuntuan, di mana LDP harus mencari dukungan satu per satu untuk setiap isu.

Partai Demokrat Konstitusional (CDP), partai oposisi utama, meraih 22 kursi. Sementara itu, Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP), yang menawarkan pemotongan pajak dan peningkatan pendapatan bersih, melonjak dari 4 menjadi 17 kursi. Sanseito, partai sayap kanan dengan kampanye anti-imigran bertajuk “Utamakan Jepang”, juga mengalami pertumbuhan pesat, dari satu menjadi 14 kursi, menjadikannya sebagai oposisi terbesar ketiga.

Pemimpin CDP, Yoshihiko Noda, menyatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan mosi tidak percaya, tergantung pada pernyataan Ishiba dalam konferensi pers hari ini.

Kebuntuan Legislasi dan Risiko Ekonomi

Meskipun majelis tinggi tidak dapat mencopot perdana menteri atau menggagalkan anggaran, mereka bisa memperlambat atau memblokir legislasi, yang berpotensi menciptakan kebuntuan. Situasi serupa pernah terjadi pada 2008 ketika majelis menolak nominasi gubernur Bank of Japan di tengah krisis subprime global.

Ahli politik dari Universitas Kanagawa, Chihiro Okawa, menyatakan bahwa melanjutkan kepemimpinan dalam kondisi ini akan menjadi beban politik yang sangat berat. “Situasinya bagaikan mengambil kastanye dari dalam bara — risiko besar tanpa imbal hasil. Bisa jadi tak seorang pun ingin mengambil alih posisi ini,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *