Peran Pecalang Berubah: Dari Penjaga Ritual Jadi Pengawas Wisata

Posted on

Sejarah dan Peran Pecalang dalam Masyarakat Bali

Pecalang adalah satuan pengamanan tradisional khas Bali yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan. Awalnya, mereka bertugas sebagai barisan pengamanan, semacam telik sandi (mata-mata) yang menjaga keamanan lingkungan kerajaan dari ancaman musuh. Dalam perkembangannya, peran pecalang meluas, tidak hanya terbatas pada menjaga ketertiban adat, tetapi juga mengurusi kriminalitas, narkoba, dan konflik sosial.

Peran ini menuntut pecalang untuk mendapatkan pelatihan, dukungan kelembagaan, serta pendanaan pemerintah agar bisa maksimal menjalankan tugasnya. Reformasi 1998 membawa banyak perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia, termasuk di Bali, salah satunya adalah meningkatnya perhatian pada pengamanan adat yang dikenal dengan nama pecalang.

Asal Usul dan Perkembangan Pecalang

Asal-muasal pecalang sebenarnya tidak begitu jelas dalam sejarah Bali. Ada yang meyakini pecalang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Bali sejak masa kerajaan dengan sebutan beragam, seperti sikep, dolop, atau sambangan. Mereka adalah barisan pengamanan yang bertugas menjaga keamanan lingkungan kerajaan dari ancaman musuh.

Seiring waktu, pecalang juga berkembang dan tumbuh di tiap desa adat dengan ciri khasnya masing-masing. Setiap desa adat punya ciri khas dan sebutan yang berbeda. Versi lain menyebutkan, pada 1965 barisan pecalang mengingatkan sebagian survivor seperti barisan tameng, milisi sipil berpakaian hitam yang terlibat dalam peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa pecalang dibentuk untuk menjaga parkir dan mengatur lalu lintas saat Pesta Kesenian Bali (PKB) yang mulai berlangsung pada tahun 1970-an.

Momentum Penting dalam Pengenalan Pecalang

Terlepas dari asal-usulnya, momentum yang membawa pecalang dikenal publik luas adalah Kongres PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Ke-V di kawasan Sanur, Bali pada 8-10 Oktober 1998. Saat itu, suasana kongres begitu meriah menyambut kongres. Ajakan menjadi pecalang untuk mengamankan kongres berseliweran sampai ke desa dan banjar—satuan komunitas terkecil di Bali.

Selain satgas partai, PDIP memanfaatkan barisan pecalang untuk mengatur para simpatisannya yang datang berbondong-bondong ke Bali. Sejak saat itu, pecalang semakin dikenal sebagai simbol budaya Tanah Dewata.

Multifungsi dan Tantangan Pecalang

Dari segi bahasa, pecalang berasal dari kata ‘calang’ atau ‘celang’ yang berarti “waspada.” Namun dalam praktiknya, sejarah menunjukkan bahwa peran pecalang begitu lentur, sehingga sering dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk beragam kepentingan.

Cairnya peran pecalang membuat mereka rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Tidak terkecuali untuk sebagai barisan pengawas kepentingan pariwisata. Citra dan simbol tradisi menjadikan pecalang sebagai pintu masuk legitimasi dan melibatkan kearifan lokal dalam berbagai kepentingan.

Setelah sukses mengawal kongres PDIP pada 1998, pecalang semakin dipercaya sebagai “jaminan keamanan Bali.” Banyak desa lantas membuat posko, memberi peralatan lengkap, bahkan menyediakan mobil patroli untuk mereka bertugas.

Tugas dan Peran Modern Pecalang

Tugas pecalang juga makin beragam. Mereka melakukan patroli keamanan desa, ikut dalam razia pendatang, melakukan sweeping pasca-Bom Bali 2002 dan 2005, hingga menjaga konser-konser musik. Pasca Bom Bali 2002 dan 2005, pecalang menjadi bagian penting dalam fragmen razia, penggerebekan, atau “penertiban” penduduk pendatang.

Aksi sweeping ini dinilai penting untuk memulihkan keamanan dan kedamaian Bali pascatragedi bom. Peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali pada pasal 47 semakin menguatkan posisi pecalang. Dalam Perda tersebut, mereka resmi bertugas menjaga keamanan, ketenteraman, dan ketertiban dalam wewidangan atau wilayah desa adat.

Syarat dan Panduan Moral Pecalang

Menurut Lontar Purwadigama Sasana, panduan moral dan etika Bali, syarat menjadi pecalang antara lain:
* Nawang kangin kauh: memahami arah mata angin dan medan tugas.
* Wanen lan wirang: berani dan tegas.
* Celang can cale: peka, cerdas, dan gesit.
* Rumaksa guru: berperilaku dan bertindak layaknya seorang guru.
* Sathya bakti ikang widhi: tulus dan ikhlas serta setia berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
* Krama desa adat: wajib terdaftar dan memiliki status hukum sebagai anggota sah di desa adat, serta memiliki kestabilan jiwa.

Perkembangan dan Masalah yang Dihadapi Pecalang

Dalam perkembangannya, pecalang kini menghadapi sejumlah masalah yang lebih kompleks. Riset saya menunjukkan, pecalang bukan hanya menjaga ketertiban upacara adat, tetapi juga sudah jauh terlibat dalam mengatasi berbagai masalah sosial, termasuk kriminalitas, narkoba, dan konflik sosial.

Sayangnya, kontribusinya terhadap sistem pertahanan nasional belum sepenuhnya diakui. Padahal, pecalang bisa berperan penting dalam mendeteksi dan merespons ancaman nonmiliter di masyarakat, sekaligus menjembatani hubungan antara masyarakat adat dan aparat formal agar keamanan lokal lebih inklusif dan berbasiskan kondisi setempat.

Untuk mendukung fungsi tersebut, penelitian saya merekomendasikan perlunya peningkatan kapasitas pecalang melalui pelatihan keamanan, pemahaman hukum, dan keterampilan menghadapi ancaman modern. Dan hal ini hanya bisa terjadi dengan dukungan kelembagaan, pendanaan, serta integrasi formal ke sistem pertahanan nasional tanpa menghilangkan identitas adat yang menjadi dasar keberadaan mereka.

Deklarasi Pecalang dan Tantangan Masa Depan

Tanggal 17 Mei 2025 lalu, para pecalang yang tergabung dalam Pesikian Pecalang Bali (perkumpulan pecalang Bali)—yang mewakili 1.500 desa adat dengan total 13 ribu anggota—menggelar deklarasi bertajuk Gelar Agung Pecalang di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala, Denpasar. Ribuan pecalang tersebut menyampaikan tiga poin pernyataan sikap:

  1. Menolak kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berkedok menjaga keamanan, ketertiban, dan sosial dengan tindakan premanisme, kekerasan, dan intimidasi. Aksi premanisme yang berbaju ormas tersebut menimbulkan keresahan dan ketegangan di tengah masyarakat Bali.
  2. Mendukung aparat penegak hukum, seperti TNI dan Polri dalam penyelenggaraan keamanan dan ketertiban di Bali, serta menindak ormas yang melakukan tindakan premanisme dan kriminalitas.
  3. Mendukung sistem pengamanan terpadu berbasis desa adat (Sipanduberadat) dan bantuan keamanan desa adat (Bankamda) dalam menjaga dan mengamankan wilayah Bali.

Deklarasi tersebut menegaskan bahwa pecalang bukan sekadar penjaga upacara adat. Mereka bisa juga menjadi aktor penting dalam menjaga keamanan Bali dari berbagai ancaman nonmiliter di tingkat lokal. Namun di sisi lain, pelibatan pecalang dan institusi desa adat yang menaunginya menjadikan mereka rentan terhadap berbagai kepentingan yang ada.