Penyebab Kematian Balita di Sukabumi yang Tidak Terkait Cacingan
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, memberikan penjelasan terkait kematian balita berusia 3 tahun bernama Raya dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menkes menegaskan bahwa penyebab kematian Raya bukanlah cacing gelang yang ditemukan dalam tubuhnya, melainkan akibat infeksi berat yang berkembang menjadi sepsis.
“Raya meninggal bukan karena cacingan, tetapi karena infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh,” ujar Menkes setelah menghadiri seminar kesehatan di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Menkes menjelaskan bahwa infeksi berat yang menyebabkan sepsis pada Raya diduga dipicu oleh penyakit yang telah dialami selama beberapa bulan sebelumnya, seperti batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh. Ia juga menyebut kemungkinan diagnosis awal mengarah pada meningitis atau tuberkulosis (TBC).
“Selama tiga bulan, dia batuk berdahak tanpa henti, tubuhnya melemah, sehingga bakteri menyebar ke seluruh tubuh. Itu yang disebut sepsis,” tambah Budi.
Meskipun lebih dari satu kilogram cacing gelang ditemukan dalam tubuh korban, Budi menegaskan bahwa kondisi tersebut bukan penyebab utama kematian, melainkan faktor pendamping yang memperparah kondisi kesehatan Raya.
Sebelumnya, kematian Raya mendapat perhatian publik. Balita yang tinggal di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, diketahui tinggal bersama ibu dengan gangguan jiwa dan ayah yang juga menderita TBC. Raya ditemukan dalam kondisi kritis oleh tim pegiat sosial dan sempat dibawa ke rumah sakit pada 13 Juli 2025. Selama perawatan, dari tubuhnya dikeluarkan cacing hidup hingga seberat 1 kilogram. Hasil CT scan menunjukkan cacing dan telurnya sudah menyebar ke otak. Dia akhirnya meninggal pada 22 Juli 2025.
Dengan kejadian ini, Menkes mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan program cek kesehatan gratis dari pemerintah, termasuk skrining penyakit menular seperti TBC dan infeksi cacing. “Kalau ketahuan lebih dini, seharusnya tidak sampai meninggal. Ini sudah sangat terlambat. Kami ingin 280 juta penduduk Indonesia memanfaatkan program cek kesehatan gratis,” tutur Budi.
Menkes juga memastikan obat cacing tersedia secara cukup dan gratis di fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas, bahkan obat TBC pun ada di fasilitas kesehatan. “Obat cacing sangat tersedia, sangat murah. Sekali minum bisa selesai. Begitu juga dengan TBC, kalau ketahuan lebih awal, pengobatannya sangat efektif,” ucapnya.
Mengenai dugaan kurang optimalnya layanan kesehatan di daerah, Budi menyatakan Kementerian Kesehatan akan mengevaluasi peran dan respons puskesmas serta dinas kesehatan setempat. “Puskesmas seharusnya bisa mendeteksi dini, baik untuk kasus cacingan maupun TBC. Petugas harus aktif membagikan obat cacing dan melakukan surveilans bagi penderita TBC,” tuturnya.
Tanggapan IDAI atas Kematian Balita di Sukabumi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa kasus kematian balita di Sukabumi yang diduga akibat cacingan menyoroti perlunya upaya promotif dan preventif kesehatan guna mencegah hal serupa agar tidak terjadi kembali.
Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan edukasi tentang pola hidup bersih sehat (PHBS), serta akses layanan kesehatan yang dapat menjangkau anak-anak di daerah menjadi krusial. “Tentu ini kalau masalah kecacingan, kita tidak bisa melihatnya dari satu aspek, penyakitnya aja ya. Ini masalah sosialnya juga banyak,” kata Piprim di Jakarta, Jumat.
Dia menuturkan IDAI memiliki program relevan untuk mengatasi masalah ini, yaitu Pediatrician Social Responsibility, di mana satu dokter anak menjadi relawan untuk mengampu dua puskesmas. Menurut dia, inisiatif ini dapat merambah ke para tenaga kesehatan dan kader guna memastikan edukasi PHBS yang tepat, misalnya cara mencuci tangan yang benar, pemberian obat pencegahan cacingan tiap 6 bulan sekali, sehingga bisa dijalankan secara baik guna mencegah kasus serupa.
Piprim menilai kesehatan harus dimulai dari hulu, dengan edukasi dan pengobatan, bukan dengan hilirisasi kesehatan di mana gedung-gedung RS belasan lantai dan cathlab miliaran rupiah dibangun.
“Misalkan dengan memberikan obat-obat setiap 6 bulan sekali. Obat cacing untuk masyarakat itu. Nah kalau itu diawasi dengan baik, kan pemberian obatnya juga harus diawasi dengan kader, dilakukan di situ. Dan kalau ada balita yang tidak datang, didatangi,” katanya.
Dia menuturkan program Bina Keluarga Balita (BKB) perlu digiatkan kembali sebagai salah satu bentuk pencegahan.


