Ada kalanya dalam pertemuan pertama, seseorang langsung menceritakan hal-hal yang sangat pribadi dalam hitungan menit. Kebiasaan ini sering disebut sebagai oversharing, yaitu tindakan berbagi informasi secara berlebihan atau terlalu cepat kepada orang lain. Meski terkesan tidak sopan atau kurang sensitif terhadap konteks sosial, perilaku ini sebenarnya memiliki akar yang lebih dalam, khususnya dari pengalaman masa kecil.
Berdasarkan beberapa studi dan observasi psikologis, ada tujuh pengalaman umum di masa kanak-kanak yang kerap menjadi penyebab seseorang cenderung melakukan oversharing saat dewasa. Memahami faktor-faktor ini bisa membantu kita melihat perilaku tersebut dengan empati, bukan hanya penilaian negatif.
1. Kurangnya Batasan Sejak Kecil
Beberapa individu tumbuh dalam lingkungan tanpa batasan jelas tentang apa yang pantas dibicarakan dan dengan siapa. Mereka mungkin terpapar percakapan orang dewasa sejak usia dini, seperti pembicaraan tentang finansial keluarga, konflik orang tua, atau masalah pribadi. Akibatnya, mereka tidak memahami pentingnya menjaga privasi dan cenderung menganggap semua topik layak untuk dibagikan.
2. Lingkungan yang Penuh Validasi
Di sebagian keluarga, anak-anak diajari bahwa nilai diri mereka berkorelasi dengan seberapa banyak pengakuan yang mereka dapatkan. Dalam situasi seperti ini, berbagi detail intim sering kali menjadi cara untuk mendapatkan perhatian dan apresiasi. Ketika anak merasa “dihargai” setelah menceritakan sesuatu yang personal, mereka akan terus mengulangi pola ini di masa depan.
3. Gaya Keterikatan Tidak Aman
Pola asuh yang tidak konsisten atau tidak stabil bisa menyebabkan anak mengembangkan gaya keterikatan insecure. Mereka cemas ditinggalkan dan mencoba membangun hubungan dengan cepat melalui keterbukaan berlebihan. Dengan berbagi cerita pribadi, mereka berharap bisa membuat orang lain merasa dekat dan enggan menjauh.
4. Tekanan untuk Bersuara Keras
Dalam keluarga besar atau rumah tangga yang kompetitif, anak-anak mungkin belajar bahwa satu-satunya cara agar didengar adalah dengan berbicara lebih keras dan lebih banyak. Mereka takut suara mereka tenggelam jika tidak menyampaikan sesuatu secara ekstrem. Pola ini tetap bertahan hingga dewasa dan muncul dalam bentuk oversharing.
5. Obsesi pada Keaslian
Beberapa orang sangat percaya bahwa keaslian adalah fondasi dari hubungan yang baik. Mereka berpikir bahwa semakin banyak informasi yang dibagikan, semakin otentik hubungan yang terjalin. Sayangnya, keyakinan ini bisa membuat mereka gagal menilai kapan waktu yang tepat untuk bersikap terbuka dan kapan harus menjaga jarak.
6. Peran Emosional Terlalu Awal
Jika seorang anak dipaksa menjadi tempat curhat atau pendukung emosional bagi anggota keluarga lain, ia mungkin kesulitan membedakan antara informasi yang boleh dibagi dan yang harus disimpan. Anak itu terbiasa menanggung beban emosional dan ketika dewasa, ia cenderung mengungkapkan segala sesuatunya secara berlebihan sebagai bentuk pelampiasan.
7. Kerinduan Mendalam untuk Terhubung
Pada dasarnya, oversharing sering kali merupakan upaya untuk menciptakan ikatan yang kuat dan cepat. Orang-orang ini ingin membangun pemahaman bersama dan merasa diterima oleh lingkungan barunya. Sayangnya, cara ini justru bisa menimbulkan kesan yang berlawanan karena lawan bicara merasa kewalahan atau tidak nyaman.
Memahami akar dari oversharing ini penting agar kita bisa memberikan respons yang lebih bijak dan penuh empati. Bukan sekadar menyalahkan atau menghakimi, tapi mencoba melihat bahwa setiap perilaku manusia biasanya punya latar belakang yang kompleks. Dengan begitu, kita bisa membangun relasi yang lebih bermakna dan saling memahami.
