Pemberantasan TB di Desa Tertunda Karena Aturan Kabur dan Kurang Dana

Posted on

Tantangan dalam Pelaksanaan Desa Siaga TB

Program Desa Siaga TB telah berjalan sejak Mei 2025. Program ini bertujuan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat di tingkat desa atau rukun warga (RW) dalam menjaga kesehatan wilayah setempat dari ancaman tuberkulosis (TB). Namun, pelaksanaannya menghadapi berbagai tantangan yang memengaruhi efektivitas program.

Setiap tahun, penyakit menular paling mematikan di Indonesia ini menginfeksi satu juta orang dan menyebabkan 125 ribu kematian. Rata-rata, 14 orang meninggal akibat TB per jam. Upaya pemerintah melibatkan masyarakat desa sebenarnya sudah dimulai sejak disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB. Regulasi ini salah satunya meminta pemerintah lokal untuk menggunakan dana desa dalam menjalankan program penanggulangan TB.

Namun, meski punya kewenangan dan sumber daya melalui APBDes, masih banyak pemerintah desa yang enggan mengalokasikan dana untuk penanganan tuberkulosis. Mereka berdalih karena tidak adanya regulasi turunan dari Kementerian Desa maupun Kementerian Keuangan. Akibatnya, program penanggulangan TB selama ini sangat bergantung pada pendanaan eksternal, seperti CEPAT, Prevent TB, dan Bebas TB—yang terbukti efektif, tetapi menjadi riskan terhenti secara mendadak ketika pendanaannya dihentikan.

Penelitian yang dilakukan oleh tim kami, yang dipublikasikan pada 2025, berupa tinjauan pustaka disertai wawancara dengan berbagai narasumber dari perwakilan pemerintah desa dan petugas puskesmas, menemukan bahwa ketiadaan regulasi turunan menjadi penghalang utama bagi banyak desa untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan Desa Siaga TB.

Pilih Main Aman Daripada Kena Audit

Dalam praktiknya, ketiadaan regulasi turunan menyebabkan banyak aparatur desa merasa gamang ketika hendak mengalokasikan anggaran untuk program TB. Meskipun secara normatif mereka memiliki kewenangan, mereka enggan menggunakan anggaran karena takut kena audit yang bisa berujung pidana korupsi. Akibatnya, banyak di antara mereka yang rela merogoh kocek pribadi.

Seorang perangkat desa dari Jawa Tengah, misalnya, mengaku kerap memakai dana pribadi untuk mengantar pasien TB ke fasilitas kesehatan. “Anggarannya tidak bisa dipakai karena tidak ada dasar hukumnya,” jelasnya. Ketiadaan dana untuk mendukung kader kesehatan di desa juga jadi hambatan. Seorang petugas puskesmas yang kami temui di Jawa Barat, mengaku harus keliling rumah ke rumah, demi membujuk warga, mengumpulkan dahak, dan mengantarkannya ke puskesmas kecamatan. “Tapi kami tidak diberi dukungan transportasi, semua dilakukan sukarela,” keluhnya.

Tanpa fleksibilitas anggaran, desa juga tak mampu menggelar program edukasi TB kepada masyarakat, terutama dalam mengatasi tantangan sosial dan budaya setempat. Di Sumatra, seorang perangkat desa mengungkapkan masih banyak masyarakat yang percaya gejala tuberkulosis berupa batuk lama disebabkan oleh hal mistis. Kondisi ini dapat menghambat masyarakat mencari pengobatan TB.

Masalah Politis yang Menghambat

Masalah politis pun tak kalah pelik. Beberapa kepala desa lebih memilih mengalokasikan Dana Desa untuk pembangunan fisik ketimbang program pemberdayaan seperti pengendalian TB. Infrastruktur dinilai lebih mudah dikerjakan dan lebih tampak hasilnya di mata publik. Sebagian kepala desa narasumber riset kami berpendapat bahwa urusan TB adalah tanggung jawab puskesmas, bukan desa.

Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah kabupaten menjadi sangat penting. Selain sebagai pembuat kebijakan, pemerintah kabupaten perlu berperan sebagai pendamping teknis bagi desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan.

Belajar dari Kerja Sama Desa-Donor

Namun, tidak semua kisah bernada suram. Berdasarkan riset kami, beberapa wilayah berhasil menjalankan program eliminasi TB melalui proyek percontohan yang didukung lembaga donor. Misalnya, program deteksi TB di Rembang, Jawa Tengah, berhasil menemukan lebih dari 300 kasus tuberkulosis. Program ini bekerja sama dengan organisasi perempuan Muslim tingkat nasional.

Di Jawa Barat dan Jawa Timur, kerja sama antara desa dengan organisasi nonpemerintah (NGO) nasional, masing-masing berhasil mengungkap 98 kasus dan 59 kasus TB. Kunci utamanya adalah kehadiran kader kesehatan didukung oleh fasilitas dan komunikasi yang lancar antara puskesmas dengan pemerintah desa.

Sayangnya, praktik baik ini belum menyebar merata karena bergantung pada bantuan dana dari proyek donor.

Aturan yang Jelas adalah Kunci

Penanggulangan TB di desa tak cukup bertumpu pada inisiatif dan komitmen lokal. Diperlukan payung regulasi yang jelas, sinergi antarlembaga, dan dukungan nyata bagi komunitas. Pertama, pemerintah pusat perlu menerbitkan regulasi turunan yang eksplisit untuk memperjelas peran desa dalam pengendalian TB. Tanpa petunjuk teknis atau aturan operasional yang jelas dari Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, dan Kemendagri, desa kesulitan mengalokasikan anggaran untuk program TB.

Kedua, Dana Desa sebaiknya dimanfaatkan secara kontekstual untuk mendukung program kesehatan berbasis komunitas, termasuk pemberdayaan kader dan operasional Desa Siaga TB. Ketiga, pemerintah kabupaten perlu memperkuat peran pendampingan teknis bagi desa, terutama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan kegiatan TB. Kabupaten dapat menjadi jembatan penting antara pemerintah pusat dan desa agar program berjalan sesuai target nasional.

Keempat, adaptasi praktik proyek percontohan eliminasi TB yang berhasil perlu menjadi materi dan wahana proses pembelajaran inovasi kebijakan. Kelima, pemerintah pusat dan kabupaten perlu menyelaraskan pendekatan teknokratis dengan pendekatan sosial-budaya di tingkat desa. Sebagian warga masih memandang TB sebagai penyakit mistis. Karena itu diperlukan pendekatan komunikasi berbasis lokal, bukan hanya kampanye umum dari pusat.

Meneguhkan Peran Desa

Desa memang sudah dimandatkan menjadi agen ujung tombak pemberantasan TB di lingkup sosialnya. Namun, regulasi ini hanya akan berjalan optimal jika ada kejelasan mandat yang dapat diterjemahkan dalam kebijakan teknis maupun program nyata di tingkat desa. Tanpa jaminan kebijakan dari pemerintah pusat maka peran desa dalam deteksi dini, edukasi warga, dan mendukung pasien di akar rumput berisiko layu sebelum berkembang.

Tuberkulosis bukan sekadar persoalan infeksi bakteri. Ia hidup dalam simpul kebijakan yang lemah, koordinasi yang gamang, dan birokrasi yang ragu. Mengutip John Green dalam Everything Is Tuberculosis (2025), tantangan kita bukan sekadar berdamai dengan penderitaan, melainkan “berdamai dengan kenyataan bahwa kita bisa memilih dunia yang lebih sedikit penderitaannya.” Semua tergantung pada keberanian negara merumuskan kepastian bagi desa. Bukan untuk menggantikan pusat, tetapi menjadikan desa sebagai poros perubahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *