Opini: Prabowo, Trump, dan Tarif 19%

Posted on

Kembali Berjalan, Hubungan Dagang Indonesia-Amerika Serikat

Pertumbuhan hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali menjadi sorotan setelah adanya kesepakatan terbaru mengenai tarif antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump. Kesepakatan ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan, kedua negara tetap berupaya untuk menjaga hubungan yang stabil.

Kesepakatan tersebut memunculkan ingatan akan tulisan Prabowo sebelum menjabat presiden. Ia pernah membahas buku The Art of War karya Sun Tzu, panglima legendaris Tiongkok. Dalam tulisannya, ia menyebutkan bahwa salah satu pelajaran terbesar dari buku tersebut adalah tentang berbagai alternatif dalam pertempuran langsung. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya strategi tunduk sementara kepada musuh yang lebih kuat, sebuah konsep yang berbeda dengan pendekatan frontal dan emosional.

Tarif perdagangan baru antara Indonesia dan AS tampaknya memberikan keuntungan lebih besar bagi AS. Namun, strategi tunduk sementara mungkin merupakan taktik Prabowo untuk meredam tekanan sambil merancang langkah berikutnya. AS tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia, dan konflik terbuka hanya akan memperburuk kerugian, terutama di sektor ekspor.

Kebijakan Tarif Baru dan Dampaknya

Pada April 2025, Trump menetapkan tarif masuk untuk produk dari 180 negara, termasuk Indonesia. Tarif awalnya mencapai 32%, yang diberlakukan sebagai bagian dari kampanye Make America Great Again untuk melindungi industri AS. Meski demikian, Trump juga memberi ruang negosiasi bagi mitra tertentu.

Banyak negara mengecam kebijakan ini secara keras, tetapi Prabowo memilih pendekatan tenang. Alih-alih melawan secara frontal atau mengalihkan ekspor secara drastis, ia memilih berdiplomasi. Pasar alternatif memang diperlukan, tetapi pengalihan tidak bisa dilakukan instan. Volume ekspor ke AS terlalu besar untuk digantikan dalam waktu singkat. Mengikuti tarif baru pun berisiko karena produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar AS. Situasi ini seperti situasi simalakama.

Strategi Diplomasi dan Pemenuhan Kepentingan Nasional

Langkah terbaik adalah membuka kanal negosiasi sambil menjajaki pasar non-tradisional. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS membuka peluang ekspor ke negara-negara besar seperti Tiongkok, India, Brasil, dan Rusia. Namun, semua ini membutuhkan waktu dan fondasi diplomatik yang kuat. Di sinilah kelihaian Prabowo diuji.

Baru-baru ini, Indonesia juga menandatangani kesepakatan penting dengan Uni Eropa. Setelah bertahun-tahun negosiasi yang stagnan, Prabowo berhasil mendorong percepatan penyelesaian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Salah satu capaian penting dari kesepakatan ini adalah tarif 0% untuk beberapa produk unggulan ekspor Indonesia ke Eropa. Ini merupakan terobosan besar yang menunjukkan kemampuan Prabowo dalam membangun kepercayaan dan memanfaatkan momentum global.

Di sisi lain, pendekatan Indonesia terhadap negara-negara Afrika juga semakin intens. Prabowo menyadari potensi besar kawasan ini sebagai pasar masa depan. Sebagai penggagas Konferensi Asia-Afrika 1955, Indonesia memiliki landasan sejarah yang kuat untuk memperkuat kerja sama Selatan–Selatan. Dalam hal ini, Prabowo konsisten dengan pernyataannya: “Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.”

Keseimbangan dalam Negosiasi

Meski sempat muncul dugaan bahwa Trump marah karena Indonesia bergabung dengan BRICS, Prabowo tetap tenang dan setia pada aliansi tersebut. Hasilnya, tarif ekspor Indonesia ke AS berhasil diturunkan dari 32% menjadi 19%. Di sisi lain, ekspor AS ke Indonesia tetap 0%, dan Trump menyebut AS memiliki akses penuh ke pasar Indonesia. Banyak pihak menilai hal ini sebagai bentuk ketimpangan. Bahkan, ada yang menyebutnya mencederai harga diri Indonesia.

Namun, melihat konteks sejarah, ketegangan ini bukan hal baru. Pada 2020, di masa kepresidenan Trump sebelumnya, Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang oleh USTR, yang otomatis menghilangkan hak tarif preferensial. AS menilai Indonesia telah lama menikmati surplus perdagangan terhadap AS. Dalam 10 tahun terakhir saja, surplus Indonesia terhadap AS selalu signifikan—dari US$8,65 miliar pada 2015 hingga US$14,34 miliar pada 2024.

Dengan pendekatan realis, Prabowo menyadari posisi tawar itu. Dia memilih jalan tengah—menghindari konflik terbuka, tetapi tetap menjaga kepentingan nasional. Dalam negosiasi, Indonesia sepakat membeli komoditas AS seperti energi senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing. Sebagai imbalannya, tarif diturunkan ke level yang masih kompetitif.

Sektor padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke AS, ikut diselamatkan. Meski tarif 19% masih mengganggu, Indonesia lebih beruntung dibanding negara ASEAN lain yang dikenai tarif 20%. Ini penting untuk mencegah potensi PHK massal.

Dampak di Daerah dan Pengaturan Impor

Dampak dari kesepakatan ini juga terasa di daerah, terutama terkait impor produk pertanian dari AS. Produk seperti gandum dan kedelai memang penting bagi ketahanan pangan nasional. Namun jagung bisa menjadi masalah. Apalagi produksi jagung nasional tahun 2024 mengalami surplus. Provinsi seperti Gorontalo, yang produksinya mencapai 617.000 ton dengan konsumsi hanya sekitar 5.460 ton, menjual ke banyak provinsi untuk kebutuhan pakan ternak. Jika jagung impor dari AS membanjiri pasar dengan harga lebih murah, produsen lokal bisa terpukul.

Untuk itu, penting agar pemerintah mengatur rincian impor secara selektif. Jika AS menargetkan ekspor pertanian senilai US$4,5 miliar, maka tidak harus seluruhnya dalam bentuk jagung. Produk lain bisa diprioritaskan untuk menjaga kestabilan pasar domestik.

Di sisi ekspor daerah, tarif 19% ke AS memang tantangan, tetapi juga peluang. Dalam logika Trump maupun Sun Tzu, selalu ada celah dalam tekanan. Bagi wirausaha yang jeli, pasar tetap terbuka. Prabowo dan timnya telah membuka jalan lewat negosiasi yang cerdas dan terukur. Tugas berikutnya adalah memastikan bahwa manfaat diplomasi ini bisa dirasakan sampai ke petani dan pelaku usaha di daerah.