Opini: Musyawarah Pastoral dari Perspektif Kanonik

Posted on

Peran Consilium Pastorale dalam Gereja

Dalam kehidupan Gereja, Uskup memainkan peran utama sebagai gembala yang bertanggung jawab atas umat Allah di wilayah keuskupannya. Namun, setelah Konsili Vatikan II, Gereja menyadari bahwa seluruh umat beriman—baik klerus, religius, maupun awam—dipanggil untuk bersama-sama bertanggung jawab atas perutusan Gereja. Dari semangat inilah lahir lembaga yang disebut Consilium Pastorale atau dewan pastoral keuskupan, sebagaimana diatur dalam Kanon 511–514 Kitab Hukum Kanonik.

Kanon 511 menegaskan bahwa di setiap keuskupan, jika keadaan pastoral menuntut, dapat dibentuk dewan pastoral. Tugas utamanya adalah membantu Uskup untuk menyelidiki situasi pastoral, menimbang dengan bijaksana kebutuhan dan tantangan yang ada, serta merumuskan usulan-usulan praktis. Dari sini tampak dua hal penting: dewan pastoral bukanlah lembaga yang wajib ada di setiap keuskupan, melainkan dianjurkan sesuai kebutuhan; dan fungsinya tidak mengambil keputusan mengikat, melainkan memberikan sumbangan konsultatif yang bermutu bagi discernment pastoral.

Peran dewan ini dirumuskan dengan tiga kata kunci: investigare (menggali dan mengenali kenyataan hidup umat), perpendere (merenungkan dan menimbang dalam terang iman), serta proponere (mengajukan usulan praktis). Dengan demikian, Consilium Pastorale bukanlah forum administratif semata, tetapi sebuah wadah di mana Gereja belajar berjalan bersama, mendengarkan Roh Kudus, dan mengambil langkah yang sesuai dengan kebutuhan nyata umat.

Susunan anggota dewan harus mencerminkan seluruh Umat Allah: imam, religius, dan awam dari berbagai wilayah dan latar belakang. Bahkan, umat awam diundang untuk turut serta melalui mekanisme pemilihan sesuai aturan diosesan. Namun, keterlibatan ini bukan sekadar formalitas; mereka yang terpilih hendaknya dikenal karena iman yang teguh, moral yang baik, dan kebijaksanaan yang dapat diandalkan. Dengan demikian, dewan sungguh menjadi cermin persekutuan Gereja, bukan sekadar representasi sosial.

Masa jabatan anggota ditetapkan untuk waktu tertentu sesuai ketentuan hukum partikular. Dewan ini juga otomatis berakhir bila keuskupan mengalami sede vacante, memberi kebebasan kepada Uskup baru untuk membentuk atau mengukuhkan kembali dewan tersebut. Adapun Kanon 514 menegaskan bahwa Uskup tetap menjadi subyek utama: ia yang memanggil, memimpin, menentukan agenda, serta satu-satunya yang berwenang meninjau dan mempublikasikan hasil rapat. Di sinilah jelas bahwa Consilium Pastorale bersifat murni konsultatif, bukan pengambil keputusan.

Meskipun demikian, nilai pastoral dewan ini sangat besar. Melalui Consilium Pastorale, Uskup tidak berjalan sendiri. Ia memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai realitas umat, memperkuat ikatan persaudaraan dengan imam, religius, dan awam, serta memastikan arah pastoral sungguh lahir dari proses mendengarkan bersama.

Musyawarah Pastoral sebagai Wujud Sinodalitas Lokal

Musyawarah Pastoral atau yang sering disebut Muspas merupakan salah satu wujud nyata Gereja yang berjalan bersama. Dalam Kitab Hukum Kanonik, hal ini dikenal sebagai consilium pastorale—dewan pastoral di tingkat keuskupan yang bersifat konsultatif, yakni membantu Uskup menyelidiki, menimbang, dan merumuskan usulan-usulan praktis demi karya pastoral.

Namun, di Indonesia, bentuk ini mengalami penyesuaian dan inkulturasi: ia hadir dalam rupa pertemuan besar, yang mempertemukan Uskup, para imam, para religius, serta umat awam untuk duduk bersama, berdialog, dan mencari arah pastoral keuskupan. Dengan demikian, Muspas dapat dipahami sebagai wajah lokal dari consilium pastorale yang menyatu dengan budaya bangsa kita, yang sejak lama mengenal tradisi musyawarah dan mufakat.

Apa yang membedakan Muspas dari sekadar forum administratif adalah semangat yang dihidupinya. Di dalamnya, seluruh umat Allah terlibat, bukan hanya para pemimpin Gereja. Imam, suster, bruder, dan umat awam, semuanya mendapat ruang untuk berbicara, menyampaikan pengalaman, serta membaca tanda-tanda zaman dari perspektif masing-masing.

Keunikan Muspas semakin terlihat ketika prosesnya dimulai dari bawah. Banyak keuskupan menyiapkan Muspas dengan mendengarkan suara umat di paroki-paroki atau stasi. Dengan demikian, apa yang dibicarakan dalam Muspas bukanlah wacana abstrak, melainkan sungguh berakar pada pengalaman umat sehari-hari.

Isu-isu yang dibahas pun sangat kontekstual: mulai dari ekologi, pendidikan, kemiskinan, perdamaian antaragama, hingga pastoral keluarga. Semua itu menunjukkan bagaimana Muspas menjadi sarana Gereja untuk sungguh hadir, relevan, dan solider dengan dunia di sekitarnya.

Namun, Muspas bukan hanya sebuah pertemuan praktis, tetapi juga pengalaman rohani. Ia menjadi ruang discernimento di mana seluruh umat Allah bersama-sama mendengarkan Roh Kudus. Karena itu, Muspas senantiasa ditopang dengan doa, liturgi, dan pendalaman Kitab Suci. Dengan cara ini, setiap gagasan dan keputusan tidak sekadar lahir dari strategi manusiawi, tetapi sungguh merupakan buah dari peneguhan iman.

Dalam pelaksanaannya, Muspas membutuhkan metode partisipatif. Biasanya metode pendekatan SAND (Sinodality, Appreciative, Narrative & Discerment) atau Pendekatan see–judge–act atau conversation in the Spirit dapat menjadi pedoman untuk membaca realitas, menimbang dalam terang Injil, lalu merumuskan langkah konkret.

Proses ini menuntut kesiapan peserta yang tidak hanya berani berbicara, tetapi juga mampu mendengarkan. Karena itu, formasi bagi imam, religius, maupun awam yang terlibat sangat penting: keterampilan berdialog, kepekaan pastoral, serta pemahaman dasar tentang eklesiologi sinodal perlu dibekali agar Muspas sungguh menjadi forum yang membangun, bukan sekadar ruang debat atau curhat.

Dalam seluruh dinamika Muspas, Uskup hadir sebagai gembala utama. Perannya bukan sekadar pemimpin rapat, melainkan tanda kesatuan Gereja. Muspas bukan “parlemen Gereja” di mana suara terbanyak menentukan keputusan, melainkan perjalanan bersama di mana Uskup mendengarkan, menimbang, lalu mengintegrasikan hasil Muspas ke dalam rencana pastoral keuskupan.

Melalui Muspas, wajah Gereja Indonesia tampak semakin jelas: Gereja yang berakar pada budaya bangsa, peka terhadap kebutuhan zaman, dan setia menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia.