Indonesia Masuk Daftar White List Tokyo MoU Selama Lima Tahun Berturut-Turut
Indonesia telah berhasil masuk dalam daftar White List Tokyo MoU selama lima tahun berturut-turut sejak 2020. Daftar ini mencantumkan negara-negara yang kapal-kapalnya dinilai memiliki tingkat kepatuhan tinggi terhadap regulasi internasional dalam bidang pelayaran. Status ini menjadi bukti pengakuan global atas standar keselamatan, keamanan, dan pengelolaan kapal berbendera Indonesia.
Pencapaian ini menunjukkan peningkatan kredibilitas pelabuhan-pelabuhan Indonesia di mata dunia. Dampak positifnya sangat terasa dalam industri pelayaran nasional. Untuk mempertahankan prestasi ini, diperlukan upaya terus-menerus agar Indonesia tetap diakui sebagai negara maritim yang tangguh di kancah global.
Dari 2020 hingga 2024, predikat White List tidak hanya menjadi simbol keberhasilan teknis, tetapi juga mencerminkan kepercayaan global terhadap kualitas pelaut serta kelayakan operasional kapal Indonesia. Kementerian Perhubungan berperan penting dalam memperketat pengawasan, memberikan pembinaan, serta menerapkan sanksi bagi pelanggaran standar internasional.
Manfaat dari status ini langsung terasa dalam proses inspeksi di pelabuhan, biaya operasional yang lebih rendah, dan peluang kapal Indonesia untuk memasuki lintasan pelayaran internasional semakin terbuka. Namun, pencapaian ini harus menjadi awal dari transformasi menyeluruh sektor maritim nasional.
Di balik status White List, terdapat tantangan besar yang harus dijawab. Salah satunya adalah kondisi pelaut Indonesia yang sebagian besar bekerja di kapal asing karena keterbatasan armada nasional, khususnya kapal niaga dan perikanan berskala besar. Hal ini diperparah oleh kebijakan pembatasan ukuran kapal sejak 2020 yang menghambat ekspansi armada nasional.
Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 1,4 juta pelaut aktif yang tersebar di berbagai belahan dunia. Sebanyak lebih dari 143.000 pelaut bekerja di kapal berbendera asing, dengan sekitar 51.000 orang sebagai perwira dan sisanya sebagai awak kapal. Dari jumlah tersebut, sekitar 28% atau sekitar 390.000 pelaut bekerja di kapal milik perusahaan asing.
Di balik data yang impresif ini, terdapat potensi kerentanan seperti biaya penyaluran yang tinggi, status hukum yang tidak jelas, hingga risiko menjadi korban perdagangan manusia. Oleh karena itu, perlindungan pelaut Indonesia di luar negeri menjadi isu mendesak yang tidak boleh diabaikan.
Peran institusi pendidikan pelayaran sangat penting dalam menjawab tantangan ini. Sejak 2012, berbagai lembaga pendidikan pelayaran di Indonesia telah menerapkan kurikulum berbasis standar STCW 1978 (amandemen Manila 2010). Kolaborasi dengan lembaga internasional seperti IMO serta keterlibatan tokoh diplomatik dan praktisi maritim global dalam perkuliahan turut memperkaya perspektif para taruna dan taruni.
Hasilnya cukup menjanjikan. Ribuan lulusan baru setiap tahun siap menjadi perwira kapal dengan kompetensi teknis yang mumpuni. Lebih penting lagi, pendidikan yang diberikan tidak hanya fokus pada keterampilan teknis seperti navigasi dan rekayasa mesin, tetapi juga mencakup aspek hukum ketenagakerjaan, perlindungan hak asasi manusia, serta literasi terhadap regulasi migrasi tenaga kerja.
Kemitraan antara lembaga pelayaran dengan BP2MI, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Luar Negeri menjadi strategis untuk menciptakan pelaut yang tidak hanya tangguh secara teknis, tetapi juga paham akan hak-haknya sebagai pekerja migran. Dengan demikian, mereka dapat melindungi diri sendiri ketika bekerja di luar negeri, sekaligus menjaga nama baik Indonesia sebagai negara maritim.
Keberadaan pelaut Indonesia di kapal-kapal internasional bukan hanya representasi teknis, tetapi juga mencerminkan wajah dan reputasi bangsa. Oleh karena itu, White List Tokyo MoU harus dimaknai sebagai tanggung jawab moral dan strategis bagi seluruh pemangku kepentingan. Diperlukan pendekatan menyeluruh: memperkuat armada nasional agar pelaut tidak bergantung pada pasar luar, memperluas jangkauan advokasi dan perlindungan hukum, serta meningkatkan kualitas dan integritas lembaga pendidikan pelayaran.
Pelaut Indonesia bukan hanya penyumbang devisa, tetapi juga simbol ketangguhan bangsa di panggung global. Untuk itu, pendidikan pelayaran harus terus berkembang menjadi wadah pembentukan pelaut yang tidak hanya terampil, tetapi juga sadar akan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat profesi. Dengan demikian, mereka akan menjadi agen perubahan dalam upaya memperkuat kedaulatan maritim dan menjadikan Indonesia benar-benar sebagai poros maritim dunia.
