Opini: Kedaulatan Digital, Kunci Penerimaan Pajak Masa Depan

Posted on

Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia dan Tantangan Pajak

Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia pada tahun 2024 mencapai angka US$90 miliar, meningkat sebesar 13% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat di angka US$80 miliar. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Gross Merchandise Value (GMV) tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Dalam laporan E-Conomy SEA 2024 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, data tersebut menunjukkan posisi Indonesia sebagai pasar digital terbesar di kawasan, bahkan melampaui Thailand, Malaysia, atau Vietnam.

Namun, di balik angka yang mengesankan ini, muncul pertanyaan penting: apakah pertumbuhan ekonomi digital benar-benar memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak negara? Tanpa kendali atas data transaksi digital, potensi penerimaan pajak bisa saja terabaikan, sehingga pertumbuhan ekonomi digital hanya menjadi angka di atas kertas.

Risiko Kebocoran Data Transaksi

Sistem perpajakan pada dasarnya bergantung pada data. Di era ekonomi konvensional, data transaksi relatif mudah diperoleh karena kegiatan ekonomi terjadi dalam wilayah negara dan tercatat melalui sistem perbankan atau laporan keuangan perusahaan domestik. Namun, di era digital, transaksi tidak lagi dibatasi oleh batas geografis. Mereka berlangsung lintas negara, lintas sistem pembayaran, bahkan lintas yurisdiksi hukum. Perusahaan seperti Google, Meta, atau Amazon bisa meraih keuntungan besar di Indonesia tanpa memerlukan kehadiran fisik.

Layanan iklan digital, langganan aplikasi, atau transaksi e-commerce sering kali hanya tercatat di server luar negeri. Akibatnya, data yang seharusnya menjadi basis pemajakan justru berada di luar jangkauan otoritas pajak. Jika data transaksi tidak sepenuhnya terkendali, proses pemungutan pajak akan sulit dilakukan, karena negara hanya mengandalkan laporan dari perusahaan asing yang biasanya menuntut insentif untuk meminimalkan beban pajaknya.

Kedaulatan Digital dan Potensi Ketidakadilan Fiskal

Ketika negara tidak memiliki kendali penuh atas data transaksi digital, praktik pengalihan keuntungan ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah menjadi semakin umum. Perusahaan multinasional bisa memanfaatkan celah regulasi dan keterbatasan akses negara terhadap data ekonomi digital untuk melakukan praktik base erosion and profit shifting (BEPS).

Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 1,8% dari total transaksi ekonomi digital di Indonesia berhasil dikonversi menjadi penerimaan pajak. Padahal, secara matematis potensi penerimaan bisa mencapai Rp156 triliun. Ini menunjukkan bahwa negara belum mampu memaksimalkan potensi fiskal dari transaksi digital.

Selain itu, ketidakadilan fiskal makin nyata. UMKM lokal yang berjualan di platform digital harus melaporkan dan membayar pajak sesuai aturan, sementara perusahaan global bisa menghindar melalui rekayasa struktur bisnis. Kondisi ini menciptakan ironi ketimpangan, karena pelaku usaha kecil tunduk pada aturan, sementara kelompok kapitalis besar leluasa mencari celah.

Upaya Pemerintah dalam Menghadapi Tantangan

Pemerintah tidak tinggal diam. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), beberapa kebijakan telah diluncurkan untuk menambal celah penerimaan, salah satunya adalah penerapan PPN atas PMSE. Sejak 2020, beberapa perusahaan global seperti Netflix, Google, dan Spotify telah terdaftar sebagai pemungut PPN, sehingga transaksi digital masyarakat Indonesia turut menyumbang penerimaan negara.

Selain itu, Indonesia juga aktif dalam kerja sama internasional di bawah payung OECD/G20. Melalui skema Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting, negara-negara bersepakat untuk membatasi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Salah satu terobosan pentingnya adalah kesepakatan pajak minimum global 15% dan pembagian hak pemajakan bagi negara pasar, termasuk Indonesia.

Tantangan dan Langkah Strategis

Meskipun begitu, upaya pemerintah dalam memajaki ekonomi digital masih menghadapi tantangan besar. Penerapan PPN PMSE misalnya, baru mencakup sebagian transaksi dan belum mampu menjangkau keseluruhan ekosistem digital. Di sisi lain, rencana implementasi pajak global juga membutuhkan konsensus internasional yang rumit dan proses panjang sebelum bisa dijalankan secara efektif.

Situasi ini makin diperumit oleh dominasi perusahaan digital multinasional yang memiliki sumber daya hukum dan finansial lebih besar dibandingkan otoritas pajak negara berkembang. Mereka relatif lebih mudah mencari celah untuk menghindari kewajiban pajak.

Masa Depan Penerimaan Negara di Era Digital

Masa depan penerimaan negara di era digital sangat ditentukan oleh sejauh mana Indonesia mampu mengukuhkan kedaulatan digitalnya. Beberapa langkah strategis bisa dipertimbangkan:

  • Memperkuat regulasi atas data transaksi digital: Negara harus memiliki kewenangan untuk mengakses data transaksi yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, terlepas di mana entitas perusahaan berada.
  • Membangun infrastruktur digital nasional yang kuat: Pengintegrasian sistem pembayaran lokal dengan platform e-commerce internasional diperlukan agar setiap transaksi dapat tercatat secara transparan.
  • Mendorong implementasi pajak minimum global: Memastikan hak pemajakan negara pasar tidak diabaikan.
  • Meningkatkan literasi pajak digital di masyarakat: Pemahaman bahwa setiap transaksi digital membawa konsekuensi fiskal perlu disosialisasikan.

Jika negara gagal menguasai data transaksi ekonomi digital, masa depan penerimaan pajak akan rapuh. Namun, jika Indonesia mampu mengelola data dengan baik, membangun infrastruktur digital yang mumpuni, dan menegosiasikan hak fiskalnya di level global, maka peluang untuk meningkatkan penerimaan negara terbuka lebar.

Era digital sering disebut sebagai “new oil”, di mana data menjadi sumber daya paling berharga. Namun, data saja tidak cukup. Negara juga harus memiliki kilang untuk mengolahnya. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi penyedia “ladang minyak” sementara nilai tambahnya diangkut keluar negeri. Pertanyaannya, apakah kita ingin terus menjadi pasar digital yang besar tetapi gagal memaksimalkan nilai tambah?