Opini: Bangsa Merdeka dan Perjuangan untuk Lingkungan Sehat

Posted on

Perubahan Iklim dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Bayangkan Anda dibangunkan oleh Sore, istri dari masa depan, bukan di Kroasia, tetapi di Jakarta. Apakah langit Jakarta di masa depan bisa begitu cerah? Apakah polusi udara justru hilang atau justru memburuk? Pertanyaan ini mungkin tidak mudah untuk dijawab, tetapi kita bisa mulai mencari jawabannya sekarang.

Delapan puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, fokus utama pembangunan ekonomi sering kali menjadi prioritas. Namun, konstitusi menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 33 juga mengatur pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam dengan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ini adalah mandat yang harus dipenuhi, bukan sekadar retorika.

Krisis Iklim yang Mengancam

Perubahan iklim bukan lagi istilah yang tepat. Istilah yang lebih sesuai adalah krisis iklim, karena dampaknya sudah sangat komprehensif. Bukan hanya kelas menengah yang terkena dampaknya, tetapi juga masyarakat miskin di pedesaan dan pesisir. Misalnya, pada 2022, survei menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat desa untuk membeli beras meningkat akibat anomali iklim. Bahkan, rata-rata pengeluaran mereka untuk beras melampaui pengeluaran penduduk perkotaan.

Contoh lain adalah banjir rob yang melanda Jakarta Utara pada 19 Desember 2024. Kejadian ini menunjukkan betapa parahnya kondisi iklim. Di hari yang sama, warga di Indramayu juga mengalami banjir rob yang merusak ribuan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa krisis iklim tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di wilayah pesisir Indonesia lainnya.

Jakarta juga dikenal sebagai “juara dunia” dalam polusi udara. Indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta pernah mencapai angka 196, yang masuk dalam kategori tidak sehat. Polusi PM 2,5 juga mencapai 119,5 mikrogram per meter kubik. Masih belum ada inisiatif signifikan untuk mengurangi polusi ini.

Mandat Konstitusi yang Terlambat Diterapkan

Hingga saat ini, mandat konstitusi tentang lingkungan masih tersendat dalam kebijakan energi. Porsi energi terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer baru mencapai 14% pada 2023, jauh dari target 17,87%. Meski PLN telah merencanakan pembangkit EBT sebesar 75% hingga 2034, rencana ini masih berada di atas kertas jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang terukur.

Indonesia juga memiliki Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan target emisi sektor ketenagalistrikan pada 290 juta ton CO₂ pada 2030. Sayangnya, pendanaan dari JETP masih jauh dari harapan. Perubahan geopolitik, seperti perubahan rezim di Amerika Serikat, juga memengaruhi komitmen global terhadap krisis iklim. Namun, bergabungnya Presiden Prabowo ke BRICS memberi harapan baru.

Di tingkat domestik, beberapa kebijakan terkait manufaktur energi terbarukan mulai dilonggarkan. Misalnya, syarat local content untuk PLTS diturunkan menjadi 20% agar proyek bisa segera berjalan. Kebijakan ini pragmatis dan lebih masuk akal: lebih baik memasang lebih banyak surya hari ini sambil mengembangkan kapasitas manufaktur esok hari.

Kenapa Semua Ini Penting dan Mendesak?

Pertama, hak konstitusional warga negara tidak akan terpenuhi jika udara tercemar, rumah tangga rentan terhadap banjir dan kekeringan, serta listrik yang kita nikmati mengakumulasi beban emisi generasi depan.

Kedua, Pasal 33 menempatkan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Ini bukan rute pendek yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Memilih rute kemakmuran rakyat berarti menata ulang insentif—mengalihkan dukungan fiskal dari fosil ke energi bersih, memastikan akses dan tarif listrik terjangkau, sekaligus menjamin transisi yang adil bagi pekerja dan daerah penghasil energi fosil.

Merdeka tidak hanya berarti bebas dari penjajahan masa lalu, tetapi juga bebas dari ketergantungan yang berpotensi menjadi beban masa depan. Energi fosil pernah dan masih menjadi andalan. Namun, kini ia menagih biaya kesehatan, iklim, dan fiskal yang kian berat. Kita mungkin masih perlu, tetapi baurannya harus diimbangi dengan kenaikan energi terbarukan yang signifikan.

Beralih ke energi terbarukan bukan soal tren global, tekanan eksternal, atau politik populis jangka pendek. Ini adalah tentang janji tertulis sebuah bangsa yang merdeka: hak atas lingkungan yang baik dan sehat, pembangunan yang berkelanjutan, dan hidup layak generasi saat ini dan mendatang.

Indonesia punya potensi besar untuk menambah bauran energi terbarukan: matahari melimpah, angin pesisir, hidro di pegunungan, panas bumi terbaik dunia, serta pasar domestik besar untuk menyerap teknologi. Dengan segala keberlimpahan itu, yang dibutuhkan adalah kejelasan arah, keberanian memotong rantai kebijakan yang kompleks, dan keberanian eksekusi. Delapan puluh tahun merdeka jadi momentum tepat untuk berhenti menormalisasi polusi dan setengah hati pada EBT.

Semoga suatu hari nanti, Sore membangunkan kita di masa depan dengan langit Jakarta yang cerah dan bebas polusi. Kenalkan, kata Sore, ini Indonesia di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *