Keluhan Ormas Islam terhadap Kebijakan Kuota Siswa di Jawa Barat
Dua organisasi masyarakat (ormas) Islam besar di Jawa Barat, yaitu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jabar dan Nahdlatul Ulama (NU), menyampaikan keluhan terkait kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Kebijakan tersebut mengatur penambahan kuota siswa per kelas menjadi 50 orang. Keluhan ini disampaikan karena dianggap berdampak signifikan terhadap sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh ormas-ormas tersebut.
Dampak pada Sekolah Swasta
PWM Jabar menegaskan bahwa kebijakan ini sangat memengaruhi sekolah-sekolah dasar dan menengah yang dikelola oleh Persyarikatan. Menurut Sekretaris PWM Jabar Iu Rusliana, kebijakan pendidikan seharusnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pengelola sekolah swasta sebelum diterapkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan atau dampak negatif yang tidak terduga.
Ia menjelaskan bahwa beberapa sekolah yang dikelola oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen PNF) Muhammadiyah mengalami penurunan jumlah siswa yang mendaftar. Contohnya adalah SMK Muhammadiyah di Garut dan SMK Muhammadiyah 1 Cikampek. Di SMK Muhammadiyah Garut, jumlah lulusan mencapai 206 orang, tetapi hanya 153 orang yang mendaftar. Sedangkan di SMK Muhammadiyah 1 Cikampek, jumlah lulusan mencapai 789 orang, namun pendaftar turun menjadi 642 orang.
Namun, tidak semua sekolah mengalami penurunan. Beberapa sekolah seperti di Cirebon tetap stabil dalam hal jumlah siswa. Iu Rusliana menekankan bahwa jumlah siswa sangat penting untuk operasional sekolah, terutama dalam hal biaya studi yang dibayarkan oleh siswa. Ia juga menyoroti pentingnya peran pihak swasta dalam mencerdaskan generasi muda Indonesia.
Penilaian dari NU
Keluhan serupa juga disampaikan oleh kalangan NU. KH Abdurrahman, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Jawa Barat, menyatakan bahwa kebijakan maksimal 50 siswa per kelas berdampak serius terhadap keberlangsungan pesantren. Menurutnya, kebijakan ini justru mendiskreditkan pesantren dan sekolah swasta, bukan membantu.
Dia menilai bahwa keputusan ini menambah daftar kebijakan yang tidak berpihak kepada lembaga pendidikan swasta. Contoh kebijakan lain yang dinilai tidak adil antara lain penghapusan batasan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri hingga perluasan zonasi dan kebijakan ijazah.
KH Abdurrahman juga menyoroti dampak langsung dari kebijakan ini, termasuk mundurnya calon siswa dan penurunan drastis jumlah santri. Di Cirebon, beberapa pesantren kehilangan hingga 70 persen pendaftar karena siswa yang sudah mendaftar ke swasta akhirnya mundur setelah kuota sekolah negeri bertambah.
Tuntutan untuk Konsultasi dan Penghargaan
Baik PWM Jabar maupun NU menuntut agar pemerintah provinsi lebih bijaksana dalam membuat kebijakan. Mereka menekankan perlunya konsultasi dengan pengelola sekolah swasta sebelum kebijakan diimplementasikan. Selain itu, mereka meminta agar peran swasta dalam dunia pendidikan dihargai dan tidak diabaikan.
Menurut Iu Rusliana, perjuangan sekolah swasta dalam mencerdaskan generasi muda Indonesia selama puluhan tahun harus dihargai. Dia menegaskan bahwa kebijakan tidak boleh diambil secara ugal-ugalan tanpa pertimbangan matang. Sementara KH Abdurrahman menilai bahwa pesantren dan sekolah swasta seharusnya dianggap sebagai mitra, bukan musuh dalam konteks pendidikan.
