Ngopi Saja Bisa, Beli Rumah Sulit: Apa Masalahnya?

Posted on

Mengapa Masalah Kepemilikan Rumah Bukan Hanya Soal Segelas Kopi?

Setiap kali topik tentang sulitnya memiliki rumah muncul di media sosial, selalu ada komentar yang mengingatkan untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. Salah satu contohnya adalah pernyataan bahwa tidak bisa membeli rumah karena terlalu sering membeli kopi mahal. Pernyataan ini sering disampaikan dengan nada nasehat finansial sederhana: kurangi pengeluaran, tingkatkan tabungan, dan mulai berinvestasi sejak dini.

Logika yang diajukan cukup masuk akal. Jika harga segelas kopi kekinian mencapai Rp25.000, dan dibeli setiap hari, dalam sebulan pengeluaran bisa mencapai Rp750.000. Dalam setahun, angka tersebut menjadi Rp9 juta. Namun, apakah uang yang dihemat dari kopi ini benar-benar bisa digunakan untuk membeli rumah?

Harga rumah sederhana di kota besar saat ini bisa mencapai antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Bahkan di pinggiran kota, harga rumah yang dianggap “murah” bisa mencapai Rp300 juta, tetapi dengan jarak yang jauh dari pusat kota. Jika seseorang hanya menabung Rp9 juta setahun, maka butuh sekitar 33 tahun untuk mengumpulkan uang sebesar Rp300 juta. Dan itu pun tanpa mempertimbangkan bunga, inflasi, atau kenaikan harga properti yang terus meningkat.

Jadi, apakah masalah utamanya benar-benar ada pada segelas kopi? Atau justru ada pada faktor-faktor yang lebih besar, seperti harga rumah yang melonjak, gaji yang stagnan, dan sistem yang tidak mendukung generasi pekerja saat ini?

Kopi di sini hanyalah simbol. Ia menjadi kambing hitam yang mudah disebut, dipahami, dan digunakan sebagai alasan untuk menyalahkan perilaku individu. Padahal, data justru menunjukkan bahwa masalah kepemilikan rumah lebih bersifat struktural daripada sekadar soal kebiasaan kecil.

Data yang Menunjukkan Perbedaan

  • Harga rumah naik jauh lebih cepat daripada gaji. Menurut data Bank Indonesia, kenaikan harga properti residensial berkisar antara 2-5% per tahun. Namun, jika dilihat dalam jangka panjang, sejak tahun 2000, harga rumah di kota besar sudah naik berkali-kali lipat.
  • Upah minimum tidak mengejar laju kenaikan harga. Rata-rata kenaikan UMR per tahun hanya 3-5%, sering kali nyaris sama atau bahkan di bawah inflasi umum. Hal ini membuat jarak antara penghasilan dan harga rumah semakin lebar.

Artinya, bahkan jika generasi sekarang tidak pernah membeli kopi mahal, masalah keterjangkauan rumah tetap akan terasa.

Perubahan Pola Kepemilikan Rumah

Dulu, orang tua kita mungkin bisa membeli rumah dengan gaji 5-10 tahun kerja, bahkan tanpa cicilan panjang. Hal ini dimungkinkan karena:

  1. Harga rumah relatif terjangkau terhadap pendapatan.
  2. Lahan di perkotaan masih banyak dan belum semahal sekarang.
  3. Skema kredit perumahan lebih sederhana dan bunga stabil.

Sekarang, kondisi jauh berbeda. Kepemilikan rumah pertama bagi generasi muda rata-rata baru terjadi di usia 35-40 tahun. Skema KPR bisa sampai 20-30 tahun, sehingga rumah baru lunas ketika si pemilik sudah menjelang pensiun. Selain itu, banyak pengembang lebih memilih membangun rumah mewah atau apartemen high-end karena margin keuntungan yang lebih besar.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, Australia, dan Inggris, generasi milenial dan Gen Z juga menghadapi “krisis keterjangkauan rumah” yang membuat rumah menjadi barang mewah, bukan kebutuhan dasar.

Hitungan Sederhana yang Menunjukkan Ketidakseimbangan

Misal, harga rumah tipe 36 di pinggiran kota saat ini mencapai Rp400 juta. Dengan DP minimal 10% (Rp40 juta) dan KPR 20 tahun, cicilan per bulan sekitar Rp3,3 juta — belum termasuk biaya asuransi dan administrasi. Bandingkan dengan rata-rata gaji, misalnya UMR Jakarta 2025 sekitar Rp5,4 juta. Jika seseorang bergaji UMR, maka hampir 60% penghasilannya akan habis hanya untuk cicilan rumah. Padahal, Bank Dunia merekomendasikan biaya perumahan idealnya maksimal 30% dari penghasilan.

Ini menunjukkan bahwa secara struktur, rumah sudah tidak “terjangkau” bahkan untuk pekerja formal bergaji standar.

Faktor Penyebab Keterjangkauan Rumah

Masalah keterjangkauan rumah di Indonesia adalah kombinasi beberapa faktor:

  1. Spekulasi dan investasi properti. Banyak orang kaya membeli rumah atau tanah bukan untuk ditempati, tapi untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, harga terdorong naik terus.
  2. Keterbatasan lahan di pusat kota. Lahan kosong semakin sedikit, sehingga harga melonjak.
  3. Kebijakan perumahan yang belum memadai. Subsidi perumahan ada, tapi jumlahnya terbatas dan tidak sebanding dengan kebutuhan.
  4. Stagnasi gaji. Kenaikan gaji rata-rata tidak mampu mengejar laju kenaikan harga rumah.
  5. Pembangunan yang tidak inklusif. Proyek perumahan rakyat sering jauh dari pusat kerja, sehingga biaya transportasi jadi beban tambahan.

Kenapa Kopi Jadi Sasaran?

Kopi mahal adalah simbol gaya hidup yang mudah diserang. Ia konkret, bisa dihitung, dan memberi kesan bahwa solusinya sederhana: kurangi konsumsi, tambah tabungan. Namun, narasi ini berbahaya karena:

  1. Menyalahkan individu, bukan sistem.
  2. Mengabaikan fakta bahwa meskipun semua orang berhemat, rumah tetap tidak akan terjangkau tanpa perubahan struktural.
  3. Mengalihkan perhatian dari perdebatan kebijakan publik tentang perumahan yang adil.

Solusi yang Bisa Dilakukan

Kalau begitu, apakah kita harus pasrah? Tidak juga. Ada dua level solusi yang bisa dibicarakan:

Level Individu:

  • Menabung dan berinvestasi lebih awal memang membantu, meski tidak menjamin.
  • Mempertimbangkan lokasi dan jenis hunian alternatif seperti rumah mungil (tiny house) atau rumah susun sederhana.
  • Mengurangi konsumsi yang tidak perlu, tapi tanpa terjebak menyalahkan diri sendiri.

Level Kebijakan Publik:

  • Pengendalian harga tanah dan rumah melalui regulasi pajak properti progresif untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.
  • Subsidi dan insentif pembangunan rumah rakyat yang benar-benar dekat pusat kerja.
  • Kredit bunga rendah untuk rumah pertama, khususnya bagi pekerja muda.
  • Pengembangan transportasi publik masif agar tinggal di pinggiran kota tetap efisien.

Mengubah Narasi

Kita perlu menggeser narasi dari “anak muda susah punya rumah karena kebanyakan ngopi” menjadi “anak muda susah punya rumah karena sistem perumahan tidak adil dan penghasilan tidak memadai.”

Kopi hanyalah pelengkap cerita, bukan biang keladi. Mungkin kita memang tidak akan bisa membeli rumah hanya dengan menghemat kopi, tapi kita bisa membeli waktu untuk berpikir, berdiskusi, dan menuntut perubahan sistem. Karena di balik segelas kopi itu ada percakapan yang jauh lebih penting: bagaimana negara menjamin kebutuhan dasar warganya.