Netanyahu Ancam Hancurkan Gaza Jika Barat Tidak Terapkan Sanksi

Posted on

Kritik terhadap Tindakan Israel dan Peran Jurnalis di Gaza

Mustafa Barghouti, sekretaris jenderal Inisiatif Nasional Palestina, menyatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan terus melakukan tindakan yang disebut sebagai genosida di Gaza jika negara-negara Barat tidak mengambil tindakan hukuman terhadapnya. Ia menyoroti bahwa Netanyahu telah lolos dari berbagai kejahatan yang dilakukannya di Gaza, termasuk pembunuhan jurnalis, dokter, perawat, profesional, warga sipil, dan anak-anak.

Barghouti mengungkapkan bahwa lebih dari 60.000 anak telah terbunuh atau terluka akibat serangan militer Israel. Ia mengecam negara-negara Barat yang mengklaim menjunjung tinggi hukum internasional karena tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadap Netanyahu. Ia memperingatkan bahwa jika tindakan hukuman tidak dilakukan, Netanyahu akan terus melakukan penghancuran hingga ke tingkat penghancuran seluruh Jalur Gaza dan melakukan pembersihan etnis terhadap penduduk Gaza.

Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera untuk Menghentikan Liputan

Ori Goldberg, seorang komentator politik Israel, menggambarkan pembunuhan jurnalis Al Jazeera di Kota Gaza oleh Israel sebagai pembunuhan yang ditargetkan. Ia menekankan bahwa motivasi Israel jelas: mencegah liputan jurnalistik tentang operasi mereka di Gaza. Dengan membunuh Anas al-Sharif dan seluruh timnya, Israel berusaha menghentikan penyebaran informasi mengenai operasi mereka.

Goldberg meminta media internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakan tersebut. Ia menekankan pentingnya solidaritas antar jurnalis dalam melawan narasi yang telah didominasi oleh Israel selama 22 bulan terakhir. Jika para jurnalis mulai menganggap tindakan Israel sebagai penyebab kematian, maka hal ini akan menjadi penghormatan yang pantas bagi kenangan Anas dan jurnalis lainnya yang gugur di Gaza.

Sosok Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh

Jurnalis terkemuka Al Jazeera di Gaza, Anas al-Sharif, melaporkan pemboman Israel di Kota Gaza sebelum ia terbunuh dalam serangan tertarget bersama empat rekannya pada Minggu malam. Pria berusia 28 tahun itu adalah salah satu jurnalis paling terkemuka di Gaza dan terus melaporkan situasi meskipun tahu nyawanya dalam bahaya.

Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir al-Bursh, memberikan penghormatan kepada al-Sharif dan Qreiqeh, dengan menyebut mereka sebagai “mata Gaza” yang melaporkan kebenaran dari reruntuhan. Ia mengatakan bahwa mereka “terus-menerus diancam” oleh militer Israel.

Pengutukan dari Misi PBB Palestina

Misi Palestina di PBB mengutuk pembunuhan staf Al Jazeera, menyatakan bahwa Israel telah “dengan sengaja membunuh” jurnalis Al Jazeera Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh dengan mengebom tenda mereka di Kota Gaza. Mereka juga menyatakan bahwa para jurnalis tersebut telah secara sistematis dan patuh mengungkap dan mendokumentasikan genosida dan kelaparan Israel.

PBB menyampaikan belasungkawa atas pembunuhan staf Al Jazeera oleh Israel. Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, menyatakan bahwa pekerja media harus dapat menjalankan pekerjaan mereka dengan bebas dan tanpa pelecehan, intimidasi, atau rasa takut menjadi sasaran.

Kekerasan Terhadap Jurnalis di Gaza

Hani Mahmoud, jurnalis Al Jazeera dari Kota Gaza, mengatakan bahwa pembunuhan seluruh awak media dan jurnalis di Gaza terjadi karena mereka telah meliput dan membuka mata dunia tentang kengerian yang terjadi selama 22 bulan terakhir. Ia menekankan bahwa kekejaman kelaparan, dehidrasi, kekurangan gizi, dan kematian banyak orang, kebanyakan dari mereka anak-anak, di dalam fasilitas kesehatan di Gaza telah didokumentasikan oleh koresponden Al Jazeera di lapangan.

Ia menyatakan bahwa militer Israel tidak senang dengan liputan tersebut karena banyak kejahatannya yang terungkap di lapangan. Serangan terhadap jurnalis di darat menunjukkan bahwa hari-hari mendatang di Kota Gaza akan sangat sulit.

Serangan Terhadap Jurnalis Al Jazeera

Anas al-Sharif tewas bersama empat rekannya dalam serangan terarah Israel terhadap tenda yang menampung jurnalis di Kota Gaza. Tujuh orang tewas dalam serangan tersebut, termasuk koresponden Al Jazeera Mohammed Qreiqeh dan juru kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa.

Dalam pesan terakhirnya, al-Sharif menyatakan bahwa ia merasakan kepedihan dalam setiap detailnya dan tidak pernah ragu menyampaikan kebenaran tanpa distorsi. Ia juga menyampaikan kesedihannya karena harus meninggalkan istrinya, Bayan, dan tidak melihat putranya, Salah, dan putrinya, Sham, tumbuh dewasa.

Penolakan terhadap Tuduhan Israel

Al Jazeera Media Network mengutuk pembunuhan tersebut sebagai “serangan terang-terangan dan terencana lainnya terhadap kebebasan pers”. Jaringan tersebut menyerukan komunitas internasional untuk mengambil langkah-langkah tegas untuk menghentikan genosida yang sedang berlangsung dan mengakhiri penargetan yang disengaja terhadap jurnalis.

Muhammed Shehada, seorang analis di Euro-Med Human Rights Monitor, mengatakan tidak ada “bukti sama sekali” bahwa al-Sharif terlibat dalam permusuhan apa pun. Ia menyatakan bahwa rutinitas hariannya adalah berdiri di depan kamera dari pagi hingga malam.

Kesimpulan

Sejak Israel melancarkan perang di daerah kantong itu pada Oktober 2023, Israel secara rutin menuduh jurnalis Palestina di Gaza sebagai anggota Hamas sebagai bagian dari upaya untuk mendiskreditkan pelaporan mereka tentang pelanggaran Israel. Militer Israel telah menewaskan lebih dari 200 wartawan dan pekerja media sejak pemboman dimulai, termasuk beberapa jurnalis Al Jazeera dan kerabat mereka.