Nasib naas menimpa PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pemegang lisensi Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia. Perusahaan ini, yang sahamnya dimiliki oleh Keluarga Gelael dan Grup Salim, tengah menghadapi badai besar dalam dunia bisnis.
Kerugian bersih yang mencapai Rp557,08 miliar hingga kuartal III 2024 menjadi pukulan telak yang tak mudah diabaikan. Di tengah upaya bertahan, FAST terpaksa menutup 47 gerai KFC di berbagai wilayah Indonesia.
Keputusan ini, meskipun dilakukan demi efisiensi, membawa dampak luas yang terasa jauh melampaui ruang lingkup perusahaan.
Salah satu dampak terbesar adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 2.274 karyawan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan nyata dari ribuan individu dan keluarga yang mendadak kehilangan sumber penghidupan.
Situasi ini menjadi ironi pahit mengingat KFC selama bertahun-tahun menjadi salah satu jaringan restoran cepat saji yang paling dikenal dan dicintai masyarakat Indonesia.
Kini, bayang-bayang ketidakpastian menyelimuti masa depan mereka. Penutupan gerai ini juga mengirimkan sinyal kuat tentang kondisi industri makanan dan minuman di Indonesia yang semakin kompetitif.
Turunnya pendapatan FAST sebesar 22,28% menjadi Rp3,59 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi indikasi bahwa perubahan preferensi konsumen dan tekanan ekonomi turut berkontribusi dalam kemerosotan ini.
Ditambah dengan harga saham FAST yang anjlok ke level Rp236 pada akhir Februari 2025, situasi ini semakin menegaskan krisis yang dihadapi perusahaan.
Di luar tekanan ekonomi domestik, FAST juga menyebut bahwa konflik Timur Tengah turut memberikan dampak pada kinerja perusahaan. Manajemen KFC Indonesia menyatakan bahwa boikot konsumen terhadap brand-brand asal Amerika Serikat, sebagai dampak dari konflik tersebut, turut menggerus penjualan.
Dengan demikian, risiko geopolitik terbukti tidak hanya berdampak pada sektor keuangan atau komoditas, tetapi juga bisnis ritel dan makanan cepat saji yang berbasis pada waralaba internasional.
Namun demikian, di balik krisis ini tersimpan pelajaran berharga. Pertama, pentingnya inovasi dan adaptasi dalam menghadapi dinamika pasar. Di era digital dan perubahan gaya hidup yang serba cepat, perusahaan dituntut untuk lebih fleksibel dalam menawarkan produk dan layanan.
Kedua, manajemen keuangan yang cermat menjadi kunci keberlangsungan bisnis, terutama dalam mengantisipasi situasi tak terduga. Ketiga, perhatian terhadap kesejahteraan karyawan harus selalu menjadi prioritas, karena mereka adalah aset utama dalam menjaga kelangsungan operasional.
Pelajaran dari sisi global: Ketergantungan yang tinggi pada brand internasional memerlukan strategi mitigasi yang baik. Diversifikasi portofolio produk dengan menambahkan opsi lokal, misalnya, dapat membantu mengurangi ketergantungan pada merek-merek tertentu dan memberikan opsi lebih luas bagi konsumen yang lebih selektif dalam memilih produk.
Kisah FAST dan KFC di Indonesia ini bukan hanya tentang angka dan strategi bisnis, melainkan juga tentang manusia, adaptasi, dan ketahanan di tengah badai. Bagi pelaku usaha dan pemangku kebijakan, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa setiap keputusan bisnis membawa konsekuensi luas yang perlu dipertimbangkan dengan bijaksana.
Sebagai penutup, situasi yang dihadapi FAST menjadi momentum refleksi bagi semua pelaku industri. Transformasi digital, inovasi produk, dan peningkatan layanan pelanggan harus menjadi prioritas.
Di sisi lain, keberlanjutan bisnis juga harus diimbangi dengan menjaga hubungan baik dengan karyawan dan komunitas sekitar. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, perusahaan dapat bertahan dan tumbuh di tengah tantangan zaman.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)