Pengalaman Bekerja Bersama Teman dalam Bisnis dan Proyek
Saya belum pernah bekerja bersama saudara di perusahaan keluarga atau dalam bisnis atau proyek bersama, meskipun kemungkinan itu selalu ada. Om saya, yang merupakan kakak tertua dari ibu, memiliki perusahaan besar di bidang soil engineering. Sementara itu, sepupu saya, anak dari adik bapak, memiliki perusahaan produsen perlengkapan keselamatan jalan raya seperti rambu, marka jalan, dan traffic light.
Menurut saya, bekerja bersama saudara kurang menantang tanpa melihat potensi keruwetan emosional. Oleh karena itu, saya lebih memilih bekerja di perusahaan milik orang lain, atau membangun bisnis atau proyek bersama teman. Namun, dua kali pengalaman kerja bersama teman gagal mempertahankan bisnis atau meneruskan proyek-proyek bersama.
Berkongsi dengan Empat Teman
Suatu ketika, empat teman baik dan saya berkongsi dalam satu bisnis. Lima orang patungan membeli sebuah usaha restoran di jalan Kuningan, Jakarta Selatan. Setoran modalnya sama. Peralihan perusahaan memunculkan perubahan akta, pengaturan kembali pembagian tugas, penetapan ketentuan pengelolaan, dan pegorganisasian lainnya.
Empat orang di antaranya memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang selain bisnis kuliner. Sementara saya memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam usaha F&B. Dalam satu periode, saya mengendalikan usaha. Sementara yang lain membantu dan mengawasi jalannya bisnis. Pada perkembangan berikutnya, teman-teman ingin menjadikan restoran sebagai club atau kafe. Artinya harus mengubah konsep dari bisnis penyedia makanan minuman menjadi bisnis hiburan.
Selain menjual makanan minuman, kafe menyediakan hiburan berupa musik, atmosfir lebih cozy, bar (penjualan minuman beralkohol), dan beroperasi hingga lebih larut. Perizinan pun harus diubah. Izin penjualan makanan minuman ditambah izin penyelenggaraan musik hidup dan bar. Biaya penambahan itu tidak murah. Resminya sih tidak seberapa, tetapi jalan untuk mendapatkannya butuh sogokan berjumlah tidak sedikit.
Sebetulnya saya tidak menyetujui, berhubung bisnis lebih pas sebagai restoran penyedia hidangan bagi orang kantor. Namun, saya kalah suara. Dua puluh persen dibanding 80 persen. Bisnis dengan konsep baru tidak bertahan lama. Dengan berbagai faktor yang sudah saya duga, penjualan cenderung turun sementara pengeluaran bertambah. Tak perlu lama, usaha kuliner hampir bangkrut.
Karyawan terpaksa dirumahkan dengan pesangon yang sepadan. Utang-utang terlebih dahulu diselesaikan. Langkah terakhir adalah menjual bisnis. Meski di bawah ekspektasi, seluruh aset diambil alih oleh seorang musisi. Setelah dipotong biaya-biaya dan pajak, seluruh hasil penjualan dibagi sesuai komposisi saham. Hasil penjualan di bawah modal. Secara teknis rugi, tetapi hubungan pertemanan tidak rusak. Masih terjaga. Bahkan, beberapa masih berkomunikasi hingga kini.
Kerja Bareng Teman dalam Proyek
Seorang teman mengajak kerja sama setelah mengetahui bahwa perizinan usaha kecil saya cukup komplit. Sementara punyanya tidak lengkap, sehingga terbatas dalam perolehan proyek pemerintahan. Sebetulnya ia bukan pemilik perusahaan rekanan pemda itu. Istri dan anaknya yang tercatat dalam akta pendirian. Dalam perolehan proyek pemerintah disyaratkan pengurus perusahaan bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, atau Polri.
Profesi teman saya adalah guru SMA Negeri. Namanya tidak bisa dicantumkan dalam akta perusahaan, tapi pada kenyataannya ia mengendalikan penuh usaha tersebut. Entah bagaimana ia bisa mencuri waktu kerja sebagai guru. Kesepakatan kerja bareng adalah, perusahaan saya maju sebagai pemenang tender. Ia bisa memperoleh proyek-proyek karena memiliki koneksi ordal (orang dalam) di satu dinas Pemerintah Kabupaten Anu.
Rencananya, modal kerja proyek ditanggung bersama. Berhubung kondisi keuangan saya terbatas jika mengongkosi proyek lebih dari satu, ia sanggup menanggung kekurangannya. “Tenaaangg …! Ada Tabungan. Kalau kurang, bisa gadai mobil atau rumah.” Satu proyek didapat, pembiayaan masih berjalan lancar. Dapat dua, lalu tiga proyek, maka saya pun keteteran. Saat meminta tambahan bagian modal, sang teman mengaku sedang kesulitan. Mobil dan rumah tak segera digadaikannya.
Saya kelimpungan. Material dan upah tukang harus dibayar. Terpaksa saya meminjam uang ke sana ke mari. Pikiran saya hanya satu, yang penting proyek selesai sesuai jadwal dan ketentuan. Untung tipis bahkan impas, tak jadi soal. Asalkan saya bisa membayar kewajiban-kewajiban.
Sejak saat itu pula kemarahan kepada teman tersebut mendarah daging dalam diri. Saya kecewa dan marah hingga kini, meski kadarnya sudah jauh berkurang. Dua bulan lalu ketika hendak cabut gigi di satu rumah sakit, saya melihatnya mengambil nomor antrian. Ia tidak melihat saya. Tidak ada kemarahan di dalam hati, tapi saya sudah terlanjur enggan menyapanya.
Pentingnya Prinsip Profesionalisme dalam Bekerja Bersama
Dua ilustrasi di atas menggambarkan hasil berbeda dari bisnis bersama teman. Kongsi pertama tetap memelihara hubungan pertemanan, meski bubar dan merugi. Kolaborasi lainnya menyebabkan rusaknya hubungan pertemanan.
Saya kira, ada faktor-faktor yang mempengaruhi apakah kerja bareng teman tetap nyaman, apa pun hasilnya. Bekerja dengan teman sebaiknya menjaga hubungan profesional, bukan yang didominasi emosi. Tetap menjaga prinsip-prinsip profesionalisme, antara lain:
- Tentukan Ground Rules (aturan mendasar) dalam pengelolaan.
- Tetapkan batas antara ranah pribadi dan profesional.
- Tegaskan porsi, peran, dan tanggung jawab masing-masing pihak, berikut sanksi jika tidak memenuhinya.
- Membentuk struktur organisasi. Ada garis komando yang jelas.
- Berkomitmen.
- Sejak awal, jalankan usaha dengan komunikasi terbuka dan jujur.
- Terapkan pembagian untung, bahkan rugi, sesuai porsi masing-masing.
Menjalankan bisnis atau proyek bareng teman bisa menjadi pengalaman bagus bila dikelola dengan baik, yaitu dengan tetap memegang teguh prinsip profesionalisme. Menetapkan batasan, komunikasi terbuka, dan seterusnya. Dengan demikian hubungan pertemanan tetap baik, meski bisnis bareng teman merugi bahkan bubar.
