Perbandingan Kinerja Ekonomi Era SBY dan Jokowi
Dalam forum Investor Daily Summit 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan pandangan tajamnya terhadap kinerja ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir. Ia menilai bahwa ekonomi Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih sehat dibandingkan dengan era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Menkeu Purbaya, era SBY (2004-2014) mencatat pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen, uang beredar sebesar 17 persen, dan kredit sebesar 22 persen. Kondisi ini menunjukkan adanya dinamika ekonomi yang hidup, terutama karena peran aktif sektor swasta dan investasi domestik yang kuat.
Sementara itu, era Jokowi (2014-2024) justru terlalu bergantung pada belanja infrastruktur pemerintah. Pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5 persen, uang beredar 7 persen, dan kredit di bawah rata-rata. Menkeu Purbaya mengakui bahwa di zaman SBY, rakyat cukup makmur karena tidak banyak membangun infrastruktur.
“Zaman SBY meski tak banyak bangun infrastruktur, rakyat makmur,” ujar Purbaya dalam Investor Daily Summit 2025.
Menurut Purbaya, mesin ekonomi era Jokowi pincang karena sektor swasta lamban bergerak dan pertumbuhan uang beredar terlalu rendah untuk menopang aktivitas ekonomi. Ia menyebutkan bahwa di era Jokowi, perbankan harus berhenti karena kebijakan di sisi keuangan cenderung terlalu ketat. Sehingga beberapa sektor tidak berhasil tumbuh dengan optimal.
“Mesin ekonomi kita jadi pincang karena sektor swasta lamban bergerak,” kata Purbaya.
Purbaya menilai perlambatan ekonomi era Jokowi bukan semata akibat belanja infrastruktur, melainkan karena kurangnya keberanian perbankan menyalurkan kredit dan lambannya ekspansi usaha baru di sektor produktif.
Utang Negara yang Menggunung
Sejak era Presiden Joko Widodo, utang negara meroket bak meteor. Keinginan Jokowi membangun infrastruktur mengakibatkan negara butuh pinjaman besar hingga tembus Rp 9.138 triliun. Untuk rakyat awam, jumlah utang ini sangat mengejutkan dan membuat mereka bertanya apakah Indonesia mampu membayar utang sebesar itu?
Terkait utang negara yang sangat besar tersebut, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa utang tersebut masih dalam level aman. Menurutnya, total utang negara tersebut masih 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Dan kalau acuan utang bahaya besar apa enggak, itu bukan dilihat dari nominalnya saja, tapi diperbandingkan dengan sektor ekonominya,” ucapnya saat Media Gathering di Bogor.
Menurut Purbaya, pemerintah memastikan nilai utang pemerintah digunakan sebaik mungkin, dengan mengurangi penerbitan utang dan memaksimalkan belanja pemerintah. “Tapi ya, jadi utang itu jangan dipakai untuk menciptakan sentimen negatif ke ekonomi kita,” katanya.
Ogah Bayarkan Utang Kereta Cepat
Di sisi lain, membengkaknya utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh ke China bisa menjadi bom waktu. Proyek kereta cepat yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp 19,54 triliun.
Untuk menutup biaya tersebut, proyek ini mendapat pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar 230,99 juta dollar AS dan 1,54 miliar renminbi, atau totalnya setara Rp 6,98 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Yang jelas sekarang saya belum dihubungi tentang masalah itu, tapi kalau ini kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, punya deviden sendiri,” ujar Purbaya saat Media Gathering di Bogor.
Terlebih menurut Purbaya, Danantara dalam satu tahun mengantongi sebesar Rp 80 triliun dari deviden. Sehingga sepatutnya bisa teratasi tanpa harus pembiayaan dari pemerintah.
Kerugian PT KAI Akibat Kereta Cepat
Belakangan PT KAI (Persero) mengalami kerugian akibat harus menanggung kereta cepat Whoosh. Fakta tersebut diungkap langsung oleh mantan Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo. Hal tersebut dia ungkapkan dalam diskusi Meet The Leaders di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).
“Itu kereta cepat sudah sejak lama saya kira akan bermasalah, pasti akan ada masalah besar,” katanya. Didiek mengatakan dirinya sudah sejak lama mengendus studi kelayakan (feasibility study/FS) kereta cepat akan menimbulkan masalah di kemudian hari.