Perjalanan N250 Gatotkaca: Simbol Kemandirian Teknologi Indonesia
Setiap 10 Agustus, kita memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), sebuah momen yang mengingatkan kita akan perjuangan dan prestasi bangsa dalam mengembangkan teknologi sendiri. Salah satu contoh paling menonjol adalah pesawat N250 Gatotkaca, yang dibangun pada tahun 1995. Dalam sebuah episode podcast khusus, tiga insinyur Indonesia yang kini berkarya di Kanada berbagi pengalaman mereka tentang proyek ini.
Mereka adalah Sigit Afrianto, Rangsang Wiwaswan, dan Endro Haryono—tiga lulusan Teknik Mesin ITB angkatan 1986 yang pernah menjadi bagian dari tim pengembangan N250. Proyek ini tidak hanya menjadi simbol kebanggaan nasional, tetapi juga menjadi bukti bahwa Indonesia mampu menciptakan teknologi mandiri.
Awal Mula Proyek N250
Pak Rangsang Wiwaswan, salah satu insinyur yang terlibat dalam proyek N250, bercerita bagaimana dirinya dan rekan-rekannya direkrut langsung oleh PTDI setelah lulus. “Kami seperti kanvas kosong yang siap diisi,” kenangnya. Ia ditempatkan di divisi propulsi N250, yang menggunakan teknologi turboprop dengan sistem kontrol digital FADEC, sebuah inovasi yang sangat maju untuk masa itu.
Sementara itu, Pak Sigit Afrianto mengisahkan pengalamannya magang di Hamilton Standard, Amerika Serikat. Ia menyampaikan visi Presiden ketiga RI, B. J. Habibie, yang ingin menjadikan teknologi sebagai alat utama pembangunan. “Pak Habibie punya visi jelas: teknologinya boleh dibeli, tapi enjiner yang mengintegrasikannya harus orang Indonesia,” ujarnya.
Teknologi yang Mengagumkan
N250 bukan sekadar pesawat biasa. Pesawat ini dilengkapi teknologi fly-by-wire dan glass cockpit, fitur yang bahkan belum dimiliki pesawat sejenis saat itu. “Kami punya tiga saluran redundansi untuk memastikan keamanan maksimal,” jelas Pak Rangsang dengan semangat. Pertama kali terbang pada 10 Agustus 1995, N250 menjadi satu-satunya uji terbang perdana pesawat sipil yang dihadiri langsung oleh kepala negara.
Namun, proyek ini harus terhenti akibat krisis moneter 1998. Meski telah mencapai 800 jam uji terbang dari target 1.400 jam, proyek ini dihentikan. “Kami seperti pelari yang sudah melihat garis finish, tiba-tiba dipaksa berhenti,” keluh Pak Endro Haryono.
Warisan BJ Habibie
Meskipun proyek N250 terhenti, warisan BJ Habibie tetap menjadi simbol kemandirian teknologi Indonesia. Bahkan, N250 sempat menjadi kebanggaan nasional setelah unjuk gigi di Paris Air Show 1997. Setelah itu, dua purwarupa pesawat digunakan sebagai bagian dari Museum Pusat Dirgantara Mandala Yogyakarta.
Harapan di Pundak Generasi Muda
Dari balik layar di Kanada, ketiga insinyur ini berbagi refleksi. Mereka sepakat bahwa kegagalan N250 bukan akhir segalanya. “Lihatlah Iran yang justru maju pesat di bawah embargo,” kata Pak Rangsang. Pak Sigit menambahkan: “Kita punya semua bahan baku. Tinggal kemauan politik dan konsistensi.”
Mereka juga menyoroti pentingnya merombak sistem pendidikan. “Anak-anak jangan hanya dicekoki matematika. Biarkan mereka bermain untuk mengembangkan kreativitas,” saran Pak Sigit. Sementara itu, Pak Rangsang mengusulkan kolaborasi unik antara ilmu agama dan teknologi.
N219 dan Masa Depan Industri Dirgantara
Meski N250 sudah menjadi sejarah, harapan belum padam. PTDI masih memiliki N219, pesawat 19 penumpang yang sudah tersertifikasi. “Ini bisa menjadi batu loncatan,” kata Pak Endro. Selain itu, potensi besar di sektor drone juga mulai dikembangkan.
Di akhir diskusi, para insinyur menegaskan pentingnya menjadikan Indonesia sebagai bangsa pencipta teknologi, bukan hanya pedagang. “Kita punya SDM, SDA, dan pasar. Tinggal kemauan untuk bersatu dan fokus,” tambah Pak Rangsang.
Diskusi ini ditutup dengan harapan baru. Seperti kata BJ Habibie, “Keberhasilan bukan milik orang pintar, tapi mereka yang mau berusaha.” Dan usaha itu, kini berada di tangan generasi muda Indonesia.
