Mengenal Pura Mangkunegaran, Warisan Budaya di Tengah Kota Solo

Posted on

Sejarah dan Fungsi Bangunan di Pura Mangkunegaran

Pura Mangkunegaran yang terletak di Jalan Ronggowarsito, Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah, tidak hanya menjadi peninggalan arsitektur tradisional Jawa, tetapi juga menjadi pusat dinamika budaya yang terus berkembang. Di tengah arus modernisasi, istana ini tetap mempertahankan fungsi, nilai, dan filosofi leluhur yang diwariskan secara turun-temurun.

Menurut R.T. Joko Pramodyo, Plt. Pengageng Kantor Pariwisata Mangkunegaran, kompleks ini sejak awal dibangun sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan Mangkunegaran. “Bangunannya besar dan kompleks. Ruangannya banyak, kami sendiri belum menghitung totalnya,” ujar Joko pada Rabu (30/7/2025).

Struktur dan Fungsi Bangunan Utama

Di tengah kompleks Pura Mangkunegaran, Pendopo Ageng menjadi salah satu titik sentral. Secara arsitektur, pendopo berbentuk joglo. Tepat di belakangnya terdapat Paringgitan, yang dulunya menjadi ruang pertunjukan wayang kulit. Sementara Dalem Ageng yang berada di sisi terdalam kompleks menjadi ruang paling sakral dan tidak dibuka untuk umum karena disakralkan.

Setiap bangunan memiliki filosofi tersendiri. Misalnya, Bale Peni ditempati oleh para putra mangkunegaran, termasuk sebagai tempat tinggal raja atau adipati. Nama “Peni” berasal dari kata “indah”, sedangkan Bale Warni digunakan oleh permaisuri dan putri-putri bangsawan. Nama “Warni” merujuk pada keindahan dan perempuan yang cantik.

Untuk anak-anak yang belum dewasa, tersedia ruang khusus bernama Bale Kencur. Istilah “bau kencur” dalam budaya Jawa merujuk pada anak-anak yang masih kecil dan belum mengalami masa akil balig. Setelah dewasa, mereka akan berpindah ke Bale Peni atau Bale Warni sesuai gender.

Fungsi Fasilitas Luar Istana

Tidak hanya ruangan dalam, kawasan luar istana juga memiliki fungsi historis. Salah satunya adalah Kavallerie Artillerie, yang dulunya digunakan oleh pasukan Mangkunegaran yang dikenal sebagai Legiun. Pasukan ini memiliki satuan berkuda, jalan kaki, hingga meriam, namun dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1942. “Legiun itu dulunya pasukan elit. Bahkan pernah dimintai bantuan oleh Prancis untuk melawan sekutu,” tambah Joko.

Hingga kini, gedung Kavallerie masih berdiri dan menjadi saksi bisu peran militer Mangkunegaran pada masa lalu. Ruang lainnya seperti Prang Wedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota. Berdekatan dengannya, terdapat Panti Putro, yang menjadi tempat tinggal para kerabat laki-laki berdarah bangsawan. Adapun kerabat yang bukan garis utama tinggal di bagian lain kompleks.

Selain itu, Panti Jeksan digunakan oleh para jaksa, dan Panti Gedhokan berfungsi sebagai tempat perawatan kuda perang. Setelah bertugas, kuda-kuda dimandikan, diberi makan, dan diistirahatkan di tempat ini. Di sisi barat terdapat Jayengan, kawasan tempat abdi dalem membuat minuman khusus untuk penghuni istana dan para pegawai kerajaan, lalu di sisi Timur ada perpustakaan Reksa Pustaka.

Perubahan Fungsi Ruang Akibat Perkembangan Zaman

Seiring perkembangan zaman, beberapa fungsi ruang pun bergeser. Salah satu perubahan mencolok adalah pembangunan restoran Pracima Tuin yang berdiri di lahan kosong bekas lapangan tenis. Menurut Joko, bangunan itu tidak merusak struktur lama dan dirancang untuk menarik wisatawan. Restoran ini dibangun menjelang resepsi pernikahan putra bungsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, dan menjadi salah satu lokasi kuliner populer di Kota Solo.

Nama Pracima Tuin sendiri merupakan kombinasi bahasa Jawa dan Belanda yang berarti “Taman di Barat”.

Arsitektur dan Simbolisme

Arsitektur Mangkunegaran pun menunjukkan keteraturan matematis. Jumlah tiang pendopo menggunakan sistem n kuadrat, dari 4 saka guru, lalu 16, 32, dan seterusnya. “Itu pakem dalam bangunan tradisional Jawa, terutama di pendopo,” jelas Joko.

Lalu gerbang masuk istana disebut kori, dan diberi nama sesuai arah mata angin: Kori Lor, Kori Kidul, dan Kori Etan. Dahulu, setiap kori memiliki fungsi tersendiri dan digunakan sesuai jenjang tamu yang masuk. Kini, kori utama hanya dibuka untuk tamu-tamu agung atau untuk keperluan keluarga Mangkunegaran.

Perubahan Lingkungan dan Upaya Pelestarian Budaya

Sebagian halaman depan yang dahulu berupa lapangan pasir kini telah ditanami rumput dan dipercantik dengan elemen lanskap baru. Tujuannya untuk mengurangi debu dan membuat kawasan lebih ramah bagi pengunjung.

Meski telah beradaptasi dengan zaman, Pura Mangkunegaran tetap menjaga nilai-nilai dasar budaya Jawa yang menjadi ruh dari istana ini. “Kami menyesuaikan dengan perkembangan, tapi tidak menghilangkan akar tradisinya,” tutup Joko.