Mengapa Rhenald Kasali Berhenti Sebagai Komut di PT Pos Indonesia?

Posted on


JAKARTA,

– Rhenald Kasali menyatakan pengunduran diri dari posisi sebagai Presiden Komisaris atau Komisaris Utama (Komut) di PT Pos Indonesia (Persero).

Dia mengatakan bahwa saat ini dia sedang mendapatkan tugas baru dalam bidang bisnis internasional.

“Perusahaan kami sedang mengurus beberapa entitas besar dengan skala luar biasa serta sangat penting, sehingga memerlukan fokus intensif,” ungkap Rhenald seperti disampaikan dalam pernyataan resminya pada hari Minggu, 27 April 2025.

Dia menyatakan bahwa pemberhentian dirinya dari posisi sebagai Presiden Komisaris atau Komut di PT Pos Indonesia (Persero), akan berlaku secara resmi mulai tanggal 20 April 2025.

Dia menambahkan bahwa telah mengajukan pengunduran diri sejak tanggal 20 April 2025.

Sebagaimana diketahui, para praktisi dan ilmuwan bisnis tersebut telah menjalankan peran sebagai Komut di PT Pos Indonesia selama kurang lebih empat tahun, mulai bulan Juli 2021.

Sebelum masuk ke PT Pos, Rhenald pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT Telkom dan juga PT Angkasa Pura II.

” Empat tahun bekerja di Badan Usaha Milik Negara seperti PT Pos telah mencukupi. Tantangan selanjutnya akan berbeda,” jelas Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).

Saat memimpin PT Pos, Rhenald menganjurkan untuk mentransformasikan perusahaan tersebut.

Saat baru bergabung, PT Pos menghadapi masalah aliran uang yang tidak stabil, stafnya kurang up-to-date dengan perkembangan terkini, dan layanan pengiriman paket jarang diminati oleh konsumen.

PT Pos setelah itu mengalami transformasi menjadi sebuah perusahaan logistik dan sukses mencatatkan keuntungan. Akan tetapi, mayoritas tenaga kerjanya masih berasal dari pegawai pos lama yang biasa duduk di balik meja layanan.

Karena itu, peningkatan teknologi serta kerja sama dengan berbagai pihak terus diupayakan.

Menurut Rhenald, ada beberapa aspek penting yang harus terus diperhatikan di masa mendatang, antara lain arus kas, merek, pengelolaan, dan peningkatan mutu tenaga kerja. Ia juga menyebutkan bahwa banyak pemimpin dengan latar belakang pendidikan menengah atas mengawasi para Sarjana.

“Kepala eksekutif perlu menerapkan sistem meritokrasi,” demikian ia menyelesaikan poinnya.