Mendung di Bulan Juli: Menyambut Musim Bediding dan Hari Pertama Sekolah dengan Hati Waspada

Posted on

Mendung di Bulan Juli: Menyambut Musim Bediding dan Hari Pertama Sekolah dengan Hati yang Waspada

Sejak dua pagi ini, langit terlihat murung. Mendung tebal menyelimuti cakrawala, seakan enggan memberi celah pada sinar matahari untuk muncul. Tapi hujan tak kunjung turun, hanya kelembapan yang membalut udara, membuat bumi seperti menahan napas dalam diam.

Di tengah ketidakpastian cuaca yang semakin sulit diprediksi, kita mulai memasuki bulan Juli, waktu di mana biasanya musim kemarau sudah mulai menunjukkan diri. Namun kali ini, alam seolah bermain-main dengan harapan.

Di beberapa wilayah, hujan justru lebih rajin datang dari perkiraan, sementara di tempat lain, langit mendung tetap bertahan tanpa mengguyurkan air. Fenomena ini dikenal sebagai musim bediding, istilah yang akrab di telinga masyarakat Jawa untuk menggambarkan pergantian musim yang tidak pasti, saat hujan dan panas bergantian tanpa pola yang jelas.

Dan di tengah semua itu, ada satu momen penting yang sedang bersiap: hari pertama sekolah.

Musim Bediding dan Ketidakpastian yang Membayangi

Bediding bukan hanya tentang perubahan cuaca yang dibungkus dalam hawa dingin yang menusuk kulit, yang membuat anak-anak sulit untuk melepaskan selimut kala pagi menjelang. Ia adalah metafora akan ketidakpastian yang kini menjadi bagian dari hidup kita. Dulu, petani bisa membaca tanda alam untuk menentukan masa tanam; nelayan bisa merasakan perubahan arah angin untuk melaut. Kini, bahkan dengan teknologi canggih sekalipun, prediksi cuaca seringkali meleset. Anomali iklim telah mengubah segalanya.

Pada awal Juli 2025 ini, anomali itu kembali menampakkan wajahnya. Banjir besar sempat melanda Jabodetabek, Kota Mataram, Lombok Barat, dan Bantaeng di Sulawesi Selatan. Curah hujan yang tinggi di luar musim menyebabkan longsor, menggenangi rumah, dan merusak infrastruktur.

Ribuan orang harus mengungsi, puluhan sekolah ditutup sementara, dan ratusan siswa terpaksa menunda aktivitas belajar karena akses terputus oleh banjir.

Namun, ironisnya, di daerah lain, hujan malah enggan turun. Tanah mulai retak, sumur warga mengering, dan kekhawatiran kekeringan mulai muncul. Ini adalah realita dari musim bediding yang semakin tidak ramah, ia tidak lagi sekadar penanda pergantian musim, tapi juga ancaman nyata bagi kehidupan.

Hari Pertama Sekolah di Tengah Bayang-Bayang Bencana

Dalam suasana mendung yang pekat seperti sekarang, para orang tua mulai mempersiapkan anak-anak mereka untuk masuk sekolah. Seragam baru disetrika rapi, tas diisi dengan buku dan alat tulis, dan senyum ceria tersungging di bibir. Tapi di balik euforia itu, ada pula kecemasan yang tersimpan.

Bagaimana jika jalanan banjir? Bagaimana jika sekolah terkena longsor atau listrik padam sehingga proses belajar terganggu? Apakah rencana pembelajaran tatap muka bisa benar-benar dilanjutkan, atau harus kembali mundur karena risiko bencana?

Kondisi ini memaksa kita untuk merefleksikan kembali arti kesiapan, tidak hanya kesiapan akademik, tetapi juga kesiapan menghadapi situasi darurat.

Sekolah-sekolah kini harus memiliki rencana mitigasi bencana yang matang, jalur evakuasi yang jelas, serta simulasi rutin yang melibatkan guru, staf, dan tentu saja, siswa. Edukasi tentang bencana pun perlu menjadi bagian dari kurikulum, agar anak-anak tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga sadar akan risiko yang mengancam lingkungan mereka.

Ada banyak contoh baik yang bisa dicontoh, seperti sekolah-sekolah di daerah rawan bencana yang mulai menggunakan sistem drainase sederhana di halaman, atau program panen air hujan untuk cadangan air bersih selama musim kemarau.

Bahkan di Yogyakarta, beberapa sekolah telah bekerja sama dengan BPBD untuk melakukan simulasi evakuasi secara berkala. Ini adalah upaya kecil yang bisa menjadi fondasi besar untuk masa depan yang lebih aman.

Mendung Pekat, Harapan yang Masih Bercahaya

Meski langit masih tertutup mendung, kita tidak boleh larut dalam kekhawatiran. Justru di saat-saat seperti inilah, kita diajarkan untuk saling peduli, untuk waspada, dan untuk siap. Anak-anak yang akan memulai tahun ajaran baru harus tetap percaya bahwa dunia ini milik mereka, dan bahwa mereka bisa menjaga dunia ini dengan lebih baik dari generasi sebelumnya.

Kita juga harus ingat bahwa musim bediding bukanlah musuh. Ia adalah panggilan dari alam untuk kembali kepada kesadaran kolektif: bahwa kita harus menjaga bumi dengan lebih baik, bahwa kita harus membangun ketahanan komunitas dengan lebih kuat, dan bahwa kita harus menempatkan pendidikan sebagai salah satu benteng utama dalam menghadapi ketidakpastian masa depan.

Jadi, meskipun pagi ini langit masih mendung, dan hujan belum juga turun, mari kita sambut hari pertama sekolah dengan doa dan persiapan yang matang. Semoga setiap langkah anak-anak menuju sekolah tidak hanya membawa mereka ke bangku kelas, tapi juga ke masa depan yang lebih cerah, lebih tangguh, dan lebih manusiawi.

Dan semoga, di balik mendung yang pekat, matahari harapan masih menyinari bumi yang kita cintai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *