Masa Depan Industri Padat Karya Terancam Kehilangan Lapangan Kerja

Posted on

Perubahan Struktur Ekonomi dan Dampak pada Lapangan Kerja

Perkembangan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pergeseran signifikan dari sektor industri padat karya ke sektor yang lebih padat modal. Hal ini berdampak langsung pada penurunan jumlah lapangan kerja formal, khususnya di sektor manufaktur.

Industri padat karya seperti tekstil dan garmen yang selama ini menjadi tulang punggung tenaga kerja kini mengalami penurunan kapasitas produksi dan PHK massal. Menurut riset IFG Progress, lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), industri tekstil semakin mendekati fase sunset industry, yaitu industri yang mulai mengalami kemunduran.

Dalam periode 2020–2022, elastisitas tenaga kerja formal terhadap pertumbuhan output manufaktur mencapai 1,77%. Namun, angka ini turun drastis menjadi 0,58% pada 2023–2024. Sementara itu, elastisitas tenaga kerja informal juga menurun dari 1,89% menjadi hanya 0,06%.

Peneliti LPEM FEB UI Arshintya Damayati menjelaskan bahwa manufaktur kini tidak lagi mampu menciptakan banyak lapangan kerja, baik formal maupun informal. Sebaliknya, sektor jasa menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja informal.

“Jadi sebenarnya ya dari sini kelihatan ya sekarang ini manufaktur itu hanya menciptakan sebagian kecil lapangan kerja dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Arshintya dalam bincang-bincang FactoryHub Bisnis Indonesia.

Penyebab Minimnya Serapan Tenaga Kerja

Ada dua penyebab utama minimnya serapan tenaga kerja dari sektor manufaktur. Pertama, terdapat ketidaksesuaian antara keterampilan SDM dengan kebutuhan industri modern. Banyak tenaga kerja lokal belum memiliki keahlian yang sesuai dengan perkembangan teknologi.

Kedua, penggunaan teknologi seperti otomatisasi dan AI membuat industri semakin padat modal. Di samping itu, sektor-sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki melemah karena daya beli menurun, sedangkan sektor padat modal tumbuh, namun tidak banyak menciptakan pekerjaan baru.

Kebutuhan Reskilling dan Upskilling

Arshintya menilai pentingnya program reskilling dan upskilling untuk mempersiapkan tenaga kerja menghadapi transisi menuju manufaktur berteknologi tinggi. Tanpa langkah tersebut, jutaan pekerja di sektor padat karya berisiko kehilangan mata pencaharian.

Vietnam menjadi contoh yang baik. Negara tersebut berhasil beralih dari industri garmen ke elektronik dan otomotif melalui pelatihan vokasi dan kemitraan industri. Alhasil, transisi tidak menimbulkan lonjakan pengangguran.

Tren Perekonomian dan Kontribusi Manufaktur

Pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal I/2025 tercatat sebesar 4,55%, meski masih lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya. Dari sisi kontribusi, pada era 1980–1990-an, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia mencapai 32%, tetapi saat ini hanya 18%–19%.

Di RPJPN 2025–2045, pemerintah menegaskan bahwa manufaktur harus tetap menjadi mesin pertumbuhan dengan target kontribusi 28% pada 2045. Namun, kondisi saat ini menunjukkan adanya sinyal deindustrialisasi dini.

Perubahan Struktur Ekonomi

Menurut Arshintya, perekonomian idealnya bergerak dari pertanian ke manufaktur, lalu ke jasa. Namun, Indonesia bergeser ke sektor jasa sebelum sektor manufaktur mencapai kematangan. Jasa yang tumbuh di Indonesia banyak bersifat informal, bukan jasa modern yang mendukung industri.

“Kalau pun kita ingin beralih ke sektor jasa, seharusnya yang dikembangkan adalah jasa-jasa yang menopang manufaktur, seperti logistik berbasis digital, supply chain management, quality assurance, sertifikasi, R&D, desain, hingga after sales service,” tuturnya.

Dampak pada Penerimaan Negara

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai meningkatnya proporsi pekerja informal di sektor manufaktur berpotensi menekan kontribusi sektor tersebut terhadap penerimaan pajak negara. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menjelaskan bahwa tren informalitas tenaga kerja di sektor manufaktur kian mengkhawatirkan.

Banyak tenaga kerja yang mengalami layoff saat deindustrialisasi tidak langsung menganggur, tetapi bergeser menjadi pekerja setengah menganggur atau membantu bisnis keluarga. Secara statistik, mereka masuk kategori pekerja informal.

Tantangan Struktural dan Langkah Ke depan

Deindustrialisasi turut meningkatkan pekerja informal yang mengurangi basis pajak negara. Selain itu, jumlah pengangguran meningkat dan terjadi peningkatan pekerja informal dari 59,17% menjadi 59,4%.

Andry menilai perlu langkah formalisasi tenaga kerja dan reformasi struktur industri agar daya saing manufaktur kembali menguat. Akar masalah informalitas tenaga kerja juga berawal dari ketidaksesuaian antara sektor pendidikan dan kebutuhan industri.

Indef mendorong pemerintah dan pelaku industri untuk lebih serius membangun sinergi antara dunia pendidikan, pelatihan vokasi, dan kebutuhan industri agar transformasi ketenagakerjaan dapat berjalan beriringan dengan pemulihan sektor manufaktur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *