Perjalanan Seorang Pemimpin yang Mengubah Makna Usia
Di tengah kehidupan yang terus bergerak tanpa henti, muncul sosok yang mengajarkan bahwa usia bukanlah batasan. Mahathir Mohamad, seorang negarawan Malaysia, telah menunjukkan bahwa ketuaan tidak berarti kehilangan relevansi atau kekuatan. Pada 10 Juli 2025, ia genap berusia 100 tahun, sebuah usia yang sering dianggap sebagai akhir dari masa produktif. Namun bagi Mahathir, ini justru menjadi momen untuk membuktikan bahwa usia adalah angka semata.
Dalam video yang viral di media sosial, Mahathir tampil dengan tubuh tegak dan pikiran tajam. Suaranya jernih, matanya tajam, dan isi pidatonya penuh ketegasan. Tidak ada tanda-tanda kelelahan dalam ucapan dan gerakannya. Ini bukan sekadar perayaan nostalgia, tetapi juga pengingat bahwa usia tua tidak harus berarti kehilangan kemampuan atau semangat.
Hidup Bukan Soal Panjang, Tapi Prinsip
Selama bertahun-tahun, Mahathir menjaga gaya hidup sehat yang konsisten. Ia menolak makan berlebihan, tidak merokok, dan menjauhi alkohol. Prinsipnya sederhana: berhenti makan sebelum kenyang. Dalam budaya Melayu, filosofi ini dikenal sebagai “berhenti sebelum kenyang”. Kini, prinsip ini semakin dibuktikan oleh ilmu medis modern.
Lebih dari itu, Mahathir aktif secara fisik. Di usia hampir satu abad, ia masih rutin berjalan kaki dan melatih keseimbangan tubuh. Bahkan pada usia 98 tahun, ia masih bisa menyetir mobil sendiri. Namun yang lebih penting adalah keterlibatan intelektualnya. Ia tidak berhenti membaca, menulis, dan berbicara di forum publik. Mahathir memahami bahwa otak harus tetap dirangsang agar tidak mengalami penurunan mental.
Mewarisi Makna, Bukan Sekadar Jabatan
Pada perayaan hari ulang tahunnya, Mahathir tidak memilih pesta besar-besaran. Ia justru menyampaikan pesan kepada generasi muda: jangan mudah puas, terus berjuang, dan jangan biarkan tubuh menjadi tua sebelum waktunya. Baginya, umur panjang bukan hanya anugerah, tapi juga tanggung jawab.
Mahathir bukan hanya mantan pemimpin, tetapi juga sosok yang pernah mundur dan kembali menjabat di usia yang dianggap pensiun. Ketika ia kembali menjadi Perdana Menteri pada usia 92 tahun, dunia tercengang. Baginya, ini bukan soal kekuatan fisik, tetapi keteguhan batin dalam memegang prinsip.
Bukan Tanpa Kritik, Tapi Tetap Kuat
Meski tidak sempurna, Mahathir tidak pernah kehilangan keteguhan dan konsistensinya. Bahkan para pengkritiknya pun tidak bisa menafikan hal itu. Dalam satu dekade terakhir, banyak pemimpin dunia tersingkir karena penyakit, tetapi Mahathir justru menjadi anomali. Ia menjadi simbol bahwa usia hanyalah angka, dan daya hidup ditentukan oleh sikap, bukan takdir.
Mengapa Harus Belajar dari Mahathir?
Indonesia saat ini menghadapi tantangan dalam kesehatan lansia. Meski harapan hidup meningkat, banyak lansia mengalami penyakit degeneratif dengan kualitas hidup rendah. Mahathir menawarkan alternatif: bahwa lanjut usia bisa tetap produktif dan menjadi inspirasi.
Yang perlu dicermati dari Mahathir adalah ia tidak pernah merasa tidak dibutuhkan. Ini menjadi bahan bakar utama untuk terus bergerak. Ketika seseorang merasa tidak lagi memiliki peran, maka tubuh dan pikiran mulai melemah. Mahathir justru menciptakan perannya sendiri, bahkan setelah tidak lagi berada dalam lingkar kekuasaan. Ia menulis buku, memberi kuliah umum, dan tetap hadir dalam acara sosial.
Usia Seratus, Energi Seribu
Mahathir bukan manusia sempurna, tetapi ia memberi pelajaran penting bahwa menjaga hidup bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga sikap. Disiplin, konsistensi, kesederhanaan, dan semangat belajar adalah pilar yang mendukung tubuh dan pikirannya hingga kini.
Pertanyaan untuk diri kita: Apakah kita telah menjaga hidup kita sebaik Mahathir menjaga hidupnya? Apakah kita siap menua dengan bermakna, bukan sekadar bertahan hidup?
Karena pada akhirnya, usia panjang bukan tujuan akhir. Jika diberikan, maka ia patut dijalani dengan martabat, kehormatan, dan semangat untuk terus memberi. Dan dalam hal itu, Mahathir telah menorehkan standar yang sangat tinggi.
