Penolakan Terhadap Tindakan Eks Prajurit TNI AL yang Bergabung dengan Militer Asing
Kementerian Hukum dan HAM bersama jajaran TNI Angkatan Laut menyatakan penolakan terhadap tindakan Satria Arta Kumbara, eks prajurit TNI AL yang diketahui bergabung dalam konflik militer di luar negeri. Dalam sebuah diskusi, berbagai pihak menegaskan bahwa tindakan Satria bukanlah representasi dari nilai dan kehormatan yang dianut oleh para prajurit TNI.
Laksamana Pertama Tunggul, Kadispenal TNI AL, menekankan bahwa yang bersangkutan adalah mantan prajurit TNI AL. Ia menjelaskan bahwa tindakan Satria tidak mencerminkan semangat patriotisme yang dimiliki oleh lebih dari 74.000 personel aktif TNI Angkatan Laut. Menurutnya, Satria hanya satu dari ribuan prajurit yang telah dilatih, dibekali, dan digaji secara layak oleh negara.
Tidak Layak Dilindungi, Apalagi Dianggap Pahlawan
Beberapa tokoh nasional juga turut mengomentari isu ini. Amelia Anggraeni, anggota DPR RI, menyatakan bahwa negara tidak boleh mengabaikan hukum demi alasan belas kasih. Sementara itu, TB Hasanuddin, purnawirawan jenderal yang kini menjadi anggota parlemen, menilai bahwa jika Satria telah kehilangan status kewarganegaraannya, maka pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk melindunginya.
Ia menambahkan bahwa jika seseorang sudah keluar dari status sebagai prajurit aktif, apalagi dengan catatan pemecatan, maka ia tidak bisa mengklaim perlindungan khusus dari negara. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan individu harus tetap berada dalam koridor hukum dan tanggung jawab terhadap bangsa.
Hak Asasi Manusia Harus Sejalan dengan Kewajiban
Prof. Widodo Ekatjahjana, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun, pelaksanaan HAM harus tetap berada dalam koridor hukum dan kewajiban terhadap negara. Ia menegaskan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk bergabung ke militer asing, terutama dalam konflik bersenjata, dia tidak hanya mempertaruhkan dirinya, tetapi juga melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia yang netral dan bebas aktif.
Widodo menambahkan bahwa warga sipil yang ingin menjadi WNI saja harus melalui proses ketat dan menyatakan sumpah setia pada Pancasila serta UUD 1945. Maka, tidak bisa seseorang yang telah menjadi kombatan asing begitu saja meminta kembali status WNI atau bahkan bergabung kembali ke institusi militer.
Motif Ekonomi Bukan Alasan yang Sah
Dari hasil polling netizen yang ditampilkan dalam podcast, sekitar 58% responden menilai tindakan Satria dilatarbelakangi desakan ekonomi. Namun menurut para narasumber, motif tersebut tidak membenarkan langkah ekstrem seperti bergabung ke medan perang asing. Laksma Tunggul menegaskan bahwa prajurit TNI saat ini sudah well-trained, well-equipped, dan well-paid. Oleh karena itu, tidak ada alasan logis untuk meninggalkan posisi mereka demi keuntungan finansial.
Widodo menambahkan bahwa banyak warga bisa saja tergoda gaya hidup hedonis global, namun tetap harus bijak dan patuh hukum dalam memilih pekerjaan atau jalan hidup. Terlebih jika keputusan tersebut menyangkut nyawa dan martabat negara.
Contoh Kasus di Luar Negeri
Podcast juga mengangkat contoh kasus Rafael Lusvargi, mantan polisi Brazil yang menjadi tentara bayaran di milisi separatis Rusia dan ikut dalam konflik Ukraina. Lusvargi akhirnya ditangkap dan dihukum oleh Ukraina sebagai teroris, lalu diekstradisi ke Brazil untuk menjalani hukuman lain terkait kepemilikan amunisi. Contoh ini menunjukkan bahwa tindakan semacam ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga berbahaya dan berisiko tinggi secara hukum internasional.
Pesan Akhir: “Prajurit Indonesia Bukan Tentara Sewaan”
Menutup diskusi, Kadispenal mengutip pesan Jenderal Besar Sudirman: “Prajurit Indonesia bukan prajurit sewaan, bukan pula yang menjual tenaganya demi sesuap nasi. Ia masuk ke tentara karena panggilan Ibu Pertiwi dan membaktikan jiwa dan raganya demi bangsa dan negara.” Pesan tersebut menjadi pengingat bahwa profesi prajurit adalah panggilan suci, bukan semata pekerjaan yang bisa ditukar demi kepentingan pribadi.
Kasus Satria Arta Kumbara menjadi preseden penting dalam konteks kewarganegaraan, loyalitas terhadap negara, dan batas perilaku eks prajurit TNI. Diperlukan pemahaman menyeluruh bahwa hak individu tetap harus berjalan seiring dengan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, terlebih bagi mereka yang pernah mengemban tugas sebagai penjaga kedaulatan bangsa.


