Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh telah digunakan selama lama sebagai alat untuk menentukan status berat badan seseorang, termasuk kategori kurus, normal, kelebihan berat badan, atau obesitas.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian dan ahli kesehatan yang menanyakan keakuratan dan relevansi Indeks Massa Tubuh (BMI) sebagai satu-satunya indikator kesehatan.
Salah satu kesalahpahaman yang umum adalah anggapan bahwa seseorang dengan Indeks Massa Tubuh (BMI) tinggi (di atas 30) pasti mengalami obesitas dengan peluang hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki BMI yang lebih rendah.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa hubungan antara indeks massa tubuh (BMI) dan harapan hidup lebih kompleks daripada yang telah dipahami sebelumnya.
Selama beberapa dekade, BMI (Index Massa Tubuh) tetap dianggap sebagai standar emas dalam mengevaluasi risiko kesehatan yang terkait dengan berat badan. Dengan menghitung BMI, seseorang bisa mendapatkan gambaran awal tentang kategori berat badannya.
Untuk menentukan kategori berat badan, kita perlu menghitung terlebih dahulu indeks massa tubuh (BMI) dengan rumus berat badan dibagi tinggi badan kuadrat.
.
Kategori berat badan sehat memiliki indikator BMI sekitar 18,5-24,9. BMI di bawah 18,5 pasti menunjukkan berat badan kurang sehat. Sedangkan BMI antara 25 hingga 29,9 termasuk dalam kategori berat badan berlebih. Di atas itu, seseorang akan dikategorikan sebagai obesitas.
Indeks Massa Tubuh (BMI) adalah alat pengukuran yang murah, sederhana, dan mudah digunakan. Namun, di balik itu, tersembunyi banyak kelemahan dan keterbatasan.
Pertama-tama, Indeks Massa Tubuh (BMI) dianggap memiliki sejarah yang kompleks dalam pengembangannya. Adalah Adolphe Quetelet, seorang astronom Belgia, yang mengembangkan konsepnya dan mengujikannya pada sebuah kelompok orang kulit putih di Belanda sekitar tahun 1850-an.
Namun, data yang digunakan hanya berasal dari sekelompok kecil sehingga kurang mewakili populasi global yang beragam.
Beberapa ahli dan penelitian berikutnya menilai bahwa tidak ada kaitan antara berat badan dan kesehatan. Oleh karena itu, akurasi BMI kemudian diragukan.
Menurutnya, dalam mengukur kesehatan seseorang, standar BMI cukup membingungkan. Di sisi lain, ia menyoroti pentingnya memahami konteks sosial dibanding hanya terpaku pada kategori yang ditetapkan, seperti bias masyarakat terhadap orang gemuk dan pengaruh industri diet.
Russel menjelaskan, orang dengan berat badan berlebih sering mengalami diskriminasi sosial dan komentar negatif tentang penampilannya. Hal ini dapat menyebabkan rasa malu dan ketakutan, bahkan menurunkan motivasi untuk berkonsultasi ke fasilitas kesehatan. Sebaliknya, akan lebih baik jika seseorang melihat orang tersebut dari sudut pandang yang lebih luas.
Kedua, BMI tidak dapat membedakan antara massa lemak dan massa otot. Seorang atlet yang memiliki otot yang kuat mungkin memiliki BMI tinggi sehingga dikategorikan sebagai obesitas, padahal kondisi fisiknya sangat sehat. Sebaliknya, seseorang dengan BMI normal mungkin memiliki persentase lemak tubuh yang tinggi dan berisiko mengalami masalah kesehatan.
Ketiga, BMI tidak memperhitungkan distribusi lemak di tubuh. Lemak yang terkumpul di sekitar perut (lemak visceral) lebih berbahaya bagi kesehatan dibandingkan dengan lemak di daerah lain, seperti pinggul atau paha.
Artinya, dua orang dengan indeks massa tubuh yang sama bisa memiliki risiko kesehatan yang sangat berbeda tergantung pada lokasi penyimpanan lemaknya.
Keempat, BMI dapat memberikan skor “kegemukan” yang lebih tinggi pada orang yang tinggi. Hal itu karena rumus perhitungan BMI tidak sepenuhnya memperhitungkan proporsi tubuh.
Banyak ahli kesehatan sekarang merekomendasikan penggunaan alat pengukur tambahan sebagai pelengkap pengukuran BMI, seperti pengukuran lingkar pinggang, rasio pinggang-pinggul, atau analisis komposisi tubuh. Pengukuran akhir yang lebih akurat ini disebut dapat memberikan informasi yang lebih akurat tentang risiko penyakit, seperti diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah tinggi.
Selain itu, untuk menilai kesehatan secara holistik, ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti pola makan, tingkat aktivitas fisik, riwayat kesehatan keluarga, dan tingkat stres.
Pernyataan bahwa makin tinggi BMI seseorang, makin rendah harapan hidupnya, ini salah dan boleh diklasifikasikan sebagai prasangka negatif, yaitu sikap tidak suka yang didasarkan pada generalisasi yang tidak tepat dan tidak fleksibel.
Ditemukan bahwa pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) di bawah 23,1—sesuai dengan standar WHO, nilai ini masih dikategorikan sebagai berat badan normal—justru memiliki kemungkinan meninggal lebih besar daripada mereka yang memiliki BMI 35,3. Penemuan ini mengejutkan karena bertentangan dengan persepsi umum bahwa BMI rendah selalu terkait dengan kesehatan yang lebih baik.
Penelitian tersebut menunjukkan, indeks massa tubuh yang terlalu rendah dapat menjadi tanda-tanda masalah kesehatan, seperti kekurangan gizi, penyakit kronis, atau sistem kekebalan tubuh yang lemah. Di sisi lain, indeks massa tubuh yang sedikit lebih tinggi berpotensi memberikan perlindungan terhadap masalah kesehatan tertentu, seperti osteoporosis atau infeksi.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indeks Massa Tubuh (BMI) tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya faktor dalam menilai kesehatan seseorang. Hal ini juga telah disepakati oleh banyak ahli. Bahkan, American Medical Association (AMA) menyarankan agar dokter tidak hanya mengandalkan BMI dalam mendiagnosis obesitas dan kesehatan pasien.
“Ada banyak kekhawatiran mengenai cara BMI digunakan untuk mengukur lemak tubuh dan mendiagnosis obesitas, namun beberapa dokter menganggapnya sebagai ukuran yang membantu dalam skenario tertentu,” kata Mantan Presiden AMA, Jack Resneck, Jr. MD.
AMA menegaskan pentingnya menggunakan pendekatan yang lebih lengkap, yang mencakup pemeriksaan komposisi tubuh, distribusi lemak, dan faktor-faktor risiko kesehatan lainnya, seperti tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah.
(DEXA).
Untuk mengukur komposisi tubuh. Penelitian tersebut menggunakan sampel dari berbagai kelompok gender dan usia, dengan berbagai aspek pengukuran, termasuk tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh (BMI), persentase lemak tubuh, dan komposisi tubuh.
Objek penelitian mengenakan pakaian yang pas di badannya dan dipindai pada Fit3D ProScanner dalam waktu 10 menit. Proses pemindaian memakan waktu sekitar 45 detik dan menghasilkan representasi bentuk tubuh yang akurat.
Hasilnya menunjukkan model 3DO secara umum akurat dan presisi dalam memprediksi komposisi tubuh, tetapi ada perbedaan yang signifikan pada beberapa subkelompok tertentu, terutama pada perempuan dengan berat badan kurang dan kelompok etnis tertentu.
Temuan dari The American Journal of Clinical Nutrition menunjukkan bahwa 3D Objek dapat menjadi alternatif yang dapat dipercaya untuk DEXA dalam mengukur komposisi tubuh. Metode tersebut dinilai jauh lebih baik dari hanya mengandalkan Indeks Massa Tubuh (BMI).
BMI memang sering digunakan sebagai indikator awal untuk menilai status kesehatan seseorang. Akan tetapi, perlu diingat bahwa itu bukan satu-satunya patokan. Kondisi kesehatan seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain.
Apa yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan adalah asupan nutrisi harian, aktivitas fisik, pengelolaan stres, dan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Semua itu memberikan gambaran tentang kesehatan secara keseluruhan.
Orang yang terbiasa berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi yang seimbang, dan memiliki kebiasaan hidup sehat, secara umum memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit walaupun berat badannya di luar kategori “ideal”.
Sebaliknya, seseorang dengan tingkat massa tubuh ideal (BMI) tetapi memiliki kebiasaan merokok, pola makan yang tidak seimbang, dan kurang aktif secara fisik, lebih rentan terhadap masalah kesehatan.
Selain itu, riwayat kesehatan keluarga juga sangat penting. Beberapa penyakit turunan, seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi, memiliki komponen genetik yang signifikan. Mengetahui riwayat kesehatan keluarga dapat membantu seseorang dan tim kesehatan mengambil langkah pencegahan yang tepat.
Secara sederhana, penilaian kesehatan tidak seharusnya hanya terfokus pada angka berat badan atau hasil perhitungan BMI. Kesehatan adalah hasil dari banyak faktor yang saling berinteraksi.