Penyelidikan KPK Terkait Dugaan Suap yang Diterima Bupati Kolaka Timur
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan aliran suap yang diterima oleh Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis. Proses ini masih berada di tahap awal dan akan terus dilakukan untuk mengungkap siapa saja pihak-pihak yang menerima uang tersebut. Salah satu kemungkinan adalah adanya keterlibatan Partai Nasdem.
Peristiwa ini bermula setelah KPK menetapkan Bupati Kolaka Timur sebagai tersangka dalam kasus penerimaan suap terkait pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe C dari dana alokasi khusus (DAK). Selain Abdul Azis, ada empat orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD, Andi Lukman Hakim; PPK proyek pembangunan RSUD Koltim, Ageng Dermanto; pihak swasta PT Pilar Cerdas Putra, Deddy Karnady; dan pihak swasta KSO PT PCP, Arif Rahman.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan bahwa pihaknya sedang mendalami arah aliran dana yang diterima oleh Abdul Azis. “Termasuk apakah dana tersebut digunakan untuk membeli properti atau bahkan ke partai politik,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8) dini hari.
Penangkapan terhadap Abdul Azis dilakukan saat ia hendak menghadiri Rakernas Partai Nasdem di Makassar, Sulawesi Tengah. KPK memastikan bahwa penangkapan dilakukan sebelum acara tersebut dimulai. Menurut Asep, nilai komitmen fee yang disepakati mencapai 9 persen dari total anggaran proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur yang bernilai Rp 126,3 miliar.
“Jika 9 persen dari jumlah tersebut, maka kira-kira sekitar Rp 9 miliaran. Progres pembangunannya baru sekitar antara dua puluh sampai tiga puluh persen,” jelasnya.
Asep menjelaskan bahwa KPK memutuskan melakukan operasi tangkap tangan lebih awal untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar. “KPK memilih untuk cepat menangani perkara ini, dengan melakukan tindakan tangkap tangan, dalam rangka untuk menghindari dampak buruk yang lebih besar,” tegas Asep.
Menurutnya, jika KPK membiarkan proses hingga pembangunan selesai, maka potensi kerugian bukan hanya dari uang suap yang akan diterima secara penuh, tetapi juga dari kualitas pembangunan rumah sakit yang berpotensi menurun. “Kalau kita biarkan sampai ini selesai, maka tentunya sembilan miliarnya akan kita peroleh, akan kita OTT, tapi rumah sakitnya tentunya kualitasnya akan lebih buruk,” jelasnya.
Kasus ini menjadi perhatian KPK karena berkaitan dengan dana pemerintah pusat senilai Rp 4,5 triliun yang dialokasikan untuk pembangunan rumah sakit di 12 kabupaten. “Yang menjadi tanggung jawab lebih besar kali ini, khususnya di tangkap tangan kali ini adalah karena ada uang Rp 4,5 triliun yang digunakan atau disediakan oleh pemerintah untuk membangun rumah sakit di 12 kabupaten,” paparnya.
Asep menilai, kasus di Kolaka Timur membuktikan adanya kerawanan penyelewengan dalam proyek pembangunan rumah sakit daerah yang bersumber dari dana pemerintah. “Kami berpikir bahwa akan ada kerawanan dalam pembangunan rumah sakit tersebut, rawan terjadinya tindak pidana korupsi, dan ini terbukti di Kabupaten Kolaka Timur ini,” pungkas Asep.
Atas perbuatannya, Deddy Karnady dan Arif Rahman sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Abdul Azis, Ageng Dermanto, dan Andi Lukman Hakim, sebagai pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
