KPK Beri Masukan Terkait RKUHAP yang Sedang Dibahas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap beberapa catatan penting terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas oleh Komisi III DPR bersama pemerintah. Melalui berbagai forum diskusi dengan para ahli, KPK menilai bahwa beberapa ketentuan dalam RKUHAP berpotensi menghambat efektivitas pemberantasan korupsi.
Menurut juru bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Senin (14/7), KPK melalui Forum Diskusi Group (FGD) dan pembahasan dengan para pakar telah mengidentifikasi beberapa poin yang kontradiktif atau tidak sejalan dengan tugas dan fungsi KPK selama ini.
Penyadapan dalam RKUHAP: Perbedaan dengan Praktik KPK
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah ketentuan penyadapan. Dalam draf RKUHAP disebutkan bahwa penyadapan hanya boleh dilakukan saat tahap penyidikan dan harus mendapatkan izin dari pengadilan negeri setempat. Namun, praktik KPK selama ini berbeda. Penyadapan KPK biasanya dimulai sejak tahap penyelidikan tanpa memerlukan izin pengadilan daerah setempat.
Budi menjelaskan bahwa jika penyadapan hanya diperbolehkan pada tahap penyidikan, maka KPK tidak bisa melakukan penyadapan saat tahap penyelidikan. Padahal, penyadapan sangat penting untuk mengumpulkan informasi atau keterangan yang diperlukan oleh penyelidik, terutama dalam konteks KPK untuk menemukan sedikitnya dua alat bukti.
“Penyadapan ini penting untuk mendapatkan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh penyelidik, baik untuk menemukan peristiwa tindak pidananya, ataupun dalam konteks KPK untuk menemukan setidaknya dua alat bukti,” jelas Budi.
Meski demikian, KPK menegaskan bahwa semua penyadapan dilakukan secara akuntabel dan tetap berada dalam koridor hukum yang diawasi oleh lembaga pengawas internal, yaitu Dewan Pengawas KPK. Setiap penyadapan yang dilakukan KPK selalu diaudit dan dilaporkan kepada Dewan Pengawas, sehingga dipastikan bahwa penyadapan tersebut benar-benar digunakan untuk mendukung penanganan perkara di KPK.
Perbedaan Definisi dan Wewenang Penyelidik
Selain itu, KPK juga menyoroti perbedaan definisi dan wewenang penyelidik dalam RKUHAP dengan yang selama ini berlaku di internal lembaga antirasuah tersebut. Menurut Budi, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik, di mana penyelidik di KPK tidak hanya bertugas mencari peristiwa tindak pidana, tetapi juga sampai menemukan sedikitnya dua alat bukti.
Sementara itu, dalam pembahasan RKUHAP, penyelidik hanya ditugaskan untuk mencari peristiwa tindak pidana. Hal ini dinilai kurang sesuai dengan kebutuhan KPK dalam proses penyelidikan.
Masukan dan Harapan KPK terhadap RKUHAP
Budi menambahkan bahwa KPK masih terus mengidentifikasi beberapa poin lain dalam RKUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ia berharap RKUHAP nantinya dapat menjadi payung hukum yang lebih efektif dalam menegakkan hukum dan mencegah korupsi.
“Masih ada beberapa poin lagi yang kami memandang, ada beberapa hal yang perlu untuk nanti kami sampaikan tentunya sebagai masukan. Tentu kita semua berharap bahwa KUHAP nantinya juga bisa menjadi payung hukum, di antaranya untuk upaya-upaya menegakkan hukum pemberantasan korupsi yang lebih efektif,” ujarnya.
KPK Siap Menyampaikan Masukan dari Publik
Lebih lanjut, Budi memastikan bahwa KPK akan menyampaikan setiap masukan dari publik terkait pembahasan RKUHAP yang tengah dibahas oleh Komisi III DPR dan pemerintah. “Oleh karena itu, KPK akan menyampaikan masukan-masukan yang saat ini masih berproses dibahas di internal nantinya kepada pemerintah,” pungkasnya.


