Pemahaman tentang Budaya Bugis melalui Pertunjukan “Nawanawana Sawerigading”
Setelah menonton pertunjukan “nawanawana Sawerigading” yang disajikan oleh SMAN 1 Makassar, saya merenung sejenak di depan gedung. Pikiran saya melayang pada peran bangsa Bugis sebagai salah satu bangsa besar dengan sejarah panjang. Apakah kita sudah cukup mengenal, memahami, dan belajar dari karya-karya sastra klasik seperti Sawerigading dan I La Galigo? Kedua karya ini bahkan mendapat julukan sebagai epos terpanjang di dunia.
Jika kita belum tahu banyak tentang cerita-cerita ini, maka kita jauh dari identitas dan sejarah asli kita. Dalam pertunjukan tersebut, meskipun hanya bagian kecil dari seluruh cerita, kompleksitas dan sisi terdalam kehidupan Sawerigading tergambarkan dengan baik. Pertunjukan ini digelar di Gedung Mulo, sebuah ikon budaya di Sulawesi Selatan, pada tanggal 5 Juli 2025. Hadir dalam acara ini adalah banyak pengunjung yang berasal dari kalangan seniman dan budayawan.
Sebagai seorang anak muda yang senang belajar dan menggeluti seni serta sastra, saya merasa bangga bisa hadir di tengah-tengah mereka. Pertunjukan ini juga merupakan pengalaman pertama bagi saya menonton teater bertema Sawerigading yang dipimpin langsung oleh Ilham Anwar sebagai penulis naskah dan supervisor. Sosok ini juga dikenal sebagai senior yang pernah memerankan tokoh Sawerigading di Gedung Taman Ismail Marzuki.
Garapan naskah dan arahan Ilham Anwar sangat memuaskan. Dengan pengalaman yang dimilikinya, ia berhasil menyajikan pertunjukan sesuai harapan penonton. Dari segi penceritaan, pencahayaan, hingga bantuan penerjemahan yang digunakan karena menggunakan bahasa Bugis klasik, semua membuat pertunjukan lebih mudah dipahami.
Karakter-karakter yang ditampilkan juga sangat hidup dan kompeten. Salah satunya adalah Sawerigading yang menjadi representasi dari bangsa Bugis dengan sifat-sifat seperti warani’ (berani), lempu’ (teguh pendirian), dan getteng (tegas). Karakter lain yang menarik perhatian adalah La Tenri Abeng dan I We Cudai. Selain itu, ada Passureq sebagai pembaca cerita/lontaraq, yang menjadi simbol penting dalam menjaga nilai-nilai budaya secara turun-temurun.
Pertunjukan ini juga menghadirkan inti cerita tentang cinta terlarang antara Sawerigading dan saudara kembarnya, La Tenri Abeng. Akibatnya, Sawerigading murka dan meninggalkan Luwu untuk berlayar ke Cina. Di sana ia bertemu dengan I We Cudai dan memiliki anak bernama I Laga Ligo. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita ini menekankan pentingnya sikap jelas dan respon yang tepat ketika keinginan tidak terpenuhi.
Siri’ atau harga diri adalah nilai inti yang masih dilestarikan oleh bangsa Bugis hingga hari ini. Pertunjukan ini menjadi proses belajar yang penting, karena cerita Sawerigading menjadi simbol sejarah nilai-nilai bangsa Bugis. Yang menarik lagi, latar belakang para pemain adalah siswa SMAN 1 Makassar. Hal ini jarang terjadi di kalangan remaja dan muda, sehingga menjadi suatu kebahagiaan bahwa mereka tetap peduli terhadap karya-karya klasik dan nilai-nilai lokal.
Mempelajari Sawerigading sangat penting, karena ini adalah bagian dari khasanah budaya Bugis dan menjadi penanda jati diri kita. Dengan kemajuan teknologi dan adanya budaya global, kita harus mampu mempromosikan dan melestarikan budaya lokal. Media sosial memberi tantangan bagi kita untuk tetap unggul dan eksis dengan nilai-nilai budaya sendiri.
Secara umum, saya sangat bahagia bisa menyaksikan pertunjukan ini. Nilai-nilai seperti warani’, lempu’, getteng, dan siri’ yang digambarkan dalam cerita Sawerigading harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Keunggulan manusia Bugis ada pada nilai-nilai inti tersebut.
