Teks Khutbah Jumat 24 Oktober 2025
Kementerian Agama (Kemenag) telah merilis teks khutbah Jumat bertema “Santri dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim”. Khutbah tersebut dapat dibacakan pada pelaksanaan salat Jumat hari ini, 24 Oktober 2025. Teks khutbah diumumkan melalui laman resmi Kemenag pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Sebagaimana diketahui, khutbah Jumat merupakan bagian penting dalam ibadah salat Jumat yang disampaikan oleh khatib sebelum pelaksanaan salat. Khutbah memiliki fungsi utama sebagai sarana penyampaian nasihat, bimbingan moral, serta pesan-pesan keagamaan bagi jamaah. Mengaitkan dengan momentum Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober, Kemenag menghadirkan tema khutbah yang mengajak umat Islam meneladani semangat santri dalam menjaga, mengamalkan, dan menyebarkan ilmu dengan penuh tanggung jawab intelektual serta akhlak mulia.
Santri sebagai pelajar agama Islam memiliki peran penting dalam menjaga kemurnian ilmu, mengembangkannya sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, serta menebarkannya kepada masyarakat dengan kebijaksanaan dan keteladanan.
Berikut teks lengkap khutbah Jumat 24 Oktober 2025:
Khutbah Pertama
الحمدُ للهِ الَّذِي عَلَّمَ الإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ، وَفَضَّلَ الْعُلَمَاءَ عَلَى سَائِرِ الأَنَامِ، وَجَعَلَ الْعِلْمَ نُورًا وَهُدًى. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَإِنَّ التَّقْوَى خَيْرُ الزَّادِ، وَهِيَ أَسَاسُ كُلِّ صَلَاحٍ وَرُقِيٍّ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَ.
Q.S. Al-Mujādalah [58]: 11:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Imam at-Thabari, yang dimaksud adalah bahwa Allah meninggikan orang-orang beriman karena ketaatan dan keikhlasan mereka, serta meninggikan orang-orang berilmu di atas yang lain karena kemuliaan ilmu yang bermanfaat.
Sedangkan Imam Ibnu Katsir menambahkan bahwa derajat ulama di sisi Allah jauh di atas orang-orang beriman biasa karena merekalah yang menuntun umat kepada petunjuk. Ibnu ‘Abbās sampai berkata:
لِلْعُلَمَاءِ فَوْقَ الْمُؤْمِنِينَ سَبْعُ مِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ.
“Para ulama memiliki keutamaan tujuh ratus derajat di atas orang beriman biasa; jarak antara satu derajat dengan yang lain sejauh perjalanan lima ratus tahun.”
Sementara itu, al-Qurṭubī menegaskan bahwa ilmu yang dimaksud dalam ayat ini adalah ilmu tentang Allah dan kewajiban untuk taat kepada-Nya, bukan sekadar pengetahuan duniawi yang hampa dari nilai ketuhanan.
Syekh Nawawī al-Bantanī dalam Marāḥ Labīd menafsirkan ayat ini dengan indah:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ: أَيْ فِي الْجَنَّةِ وَفِي الدُّنْيَا بِالرِّفْعَةِ وَالْجَاهِ وَالذِّكْرِ الْجَمِيلِ.
“Allah meninggikan orang-orang beriman dan berilmu baik di surga maupun di dunia, dengan kemuliaan, kedudukan, dan nama baik.”
Ini menunjukkan bahwa ilmu yang diamalkan akan mengangkat martabat seseorang bukan hanya di sisi Allah, tetapi juga di mata manusia. Karena itu, santri sebagai penuntut ilmu memiliki tanggung jawab besar untuk menapaki tangga kemuliaan itu melalui tiga hal: iman, ilmu, dan amal.
Iman adalah fondasi moral; ilmu adalah cahaya petunjuk; dan amal adalah bukti nyata dari keduanya. Maka ketika seorang santri menuntut ilmu dengan niat yang benar, mengamalkannya dengan ikhlas, dan menebarkannya dengan hikmah—saat itulah ia menjadi bagian dari janji Allah: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.”
Inilah hakikat tanggung jawab intelektual seorang muslim, yakni menjaga kemurnian niat, mengabdi dengan ilmu, dan menebarkan manfaat bagi umat. Ilmu bukan sekadar hafalan atau teori, melainkan amanah yang harus disampaikan kepada masyarakat dengan akhlak, adab, dan rasa tanggung jawab sosial.
Sebagaimana ditegaskan Ibnu Jamā‘ah dalam Tadhkiratus Sāmi‘ wal-Mutakallim:
يَنْبَغِي لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ قَصْدُهُ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى وَإِحْيَاءَ الْعِلْمِ وَإِصْلَاحَ الْأُمَّةِ.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya meniatkan ilmunya untuk mencari rida Allah, menghidupkan ilmu, dan memperbaiki umat.”
Jemaah Jum’at yang dimuliakan Allah,
Dalam sejarah Islam, santri memiliki posisi strategis sebagai pewaris tugas para nabi (waratsatul anbiyā’). Para nabi mewariskan ilmu, bukan harta. Rasulullah saw bersabda:
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, berarti ia telah mengambil bagian yang besar.” (H.R. Abū Dāwūd dan at-Tirmidzī).
Santri sebagai pelajar agama memiliki tanggung jawab intelektual untuk menjaga kemurnian ilmu, mengamalkannya, dan menebarkannya kepada masyarakat dengan hikmah dan akhlak. Menurut Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, ilmu tanpa amal adalah kesesatan, dan amal tanpa ilmu adalah kebodohan. Ia menulis:
اَلْعِلْمُ بِغَيْرِ الْعَمَلِ جُنُونٌ، وَالْعَمَلُ بِغَيْرِ الْعِلْمِ لَا يَكُونُ.
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna.”
Sehingga santri tidak cukup hanya memahami teks, tetapi harus mampu menghubungkan ilmu dengan realitas. Intelektualitas santri bukan hanya hafalan dalil, melainkan kepekaan nurani terhadap problem sosial umat: kemiskinan, kebodohan, dan disintegrasi moral. Kemudian Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashā’iḥul ‘Ibād menegaskan bahwa kemuliaan ilmu terletak pada adab penuntutnya:
مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَعَلَيْهِ بِالْأَدَبِ.
“Barang siapa menghendaki ilmu, hendaklah ia memuliakan adab.”
Maka, tanggung jawab intelektual santri bukan sekadar menambah wawasan, tetapi menjaga adab kepada guru, sesama penuntut ilmu, dan masyarakat. Ilmu yang tidak dibingkai akhlak akan melahirkan kesombongan intelektual, sementara ilmu yang berakhlak akan melahirkan kebijaksanaan.
Hadirin rahimakumullāh,
Dalam lintasan sejarah Nusantara, para ulama dan santri menjadi motor perubahan sosial. Dari surau, pesantren, dan majelis ilmu, lahir ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang menggabungkan kekuatan ilmu, akhlak, dan nasionalisme.
Perjuangan mereka menunjukkan bahwa keilmuan santri tidak berhenti di ruang belajar, tetapi menembus batas sosial dan kebangsaan. Santri adalah intelektual muslim yang memadukan dzikir, fikir, dan ‘amal ṣāliḥ demi kemajuan umat dan bangsa.
Dalam konteks kehidupan modern yang penuh polarisasi, santri harus menjadi penjaga moderasi beragama. Nilai-nilai tawassuṭ (pertengahan), tasāmuḥ (toleransi), i‘tidāl (adil), dan musāwah (egaliter) merupakan ciri utama kecerdasan intelektual Islam.
Santri dituntut bersikap terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa kehilangan akidah dan adab. Ia berdialog dengan peradaban global, namun tetap berpijak pada nilai-nilai tauhid.
Zaman digital membuka ruang luas bagi dakwah dan ilmu, namun juga menghadirkan tantangan besar: banjir informasi, hoaks, dan degradasi akhlak. Intelektual muslim sejati harus mampu memanfaatkan teknologi untuk dakwah dan kemaslahatan, bukan untuk perpecahan. Tanggung jawab santri masa kini adalah mengubah pengetahuan menjadi aksi nyata mendidik masyarakat, menulis, berdakwah di ruang publik, dan menjadi teladan integritas.
Jemaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Dari pesantren lahir generasi pembangun peradaban. Tanggung jawab intelektual seorang santri bukan hanya memahami kitab, tetapi menegakkan nilai Islam di tengah masyarakat dengan ilmu, amal, dan akhlak. Mari kita doakan agar seluruh santri Indonesia menjadi insan yang mutafaqqih fid-dīn, cerdas dalam ilmu, santun dalam akhlak, dan teguh menjaga keutuhan bangsa.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْاٰنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اَلْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَكْرَمَنَا بِالْإِيمَانِ وَالْعِلْمِ، وَجَعَلَنَا مِنْ أُمَّةِ خَيْرِ الْأَنَامِ مُحَمَّدٍ ﷺ، نَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمِهِ، وَنَشْكُرُهُ عَلَى آلَائِهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَإِنَّ التَّقْوَى رَأْسُ كُلِّ خَيْرٍ، وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ. عِبَادَ اللهِ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ، وَالْجَهْلَ ظُلْمَةٌ، فَكُونُوا مَعَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِكْرِ، وَاعْمَلُوا لِصَلَاحِ دِينِكُمْ وَدُنْيَاكُمْ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ وَفِّقْ طُلَّابَ الْعِلْمِ وَالْمُعَلِّمِينَ، وَاحْفَظْ بِلَادَنَا وَعُلَمَاءَنَا وَشَبَابَنَا مِنْ كُلِّ سُوءٍ وَفِتْنَةٍ. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ بَلَدًا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، سَخَاءً رَخَاءً، وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ. عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى، وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.


