Saham PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pemegang waralaba tunggal restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia, terus menghadapi tekanan dari berbagai sisi—baik keuangan, operasional, hingga sentimen publik yang kian kompleks.
Pada akhir tahun 2024, FAST mencatatkan kerugian sebesar Rp417,96 miliar, meningkat drastis sebesar 91,08% dibandingkan kerugian tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp218,79 miliar.
Jumlah gerai menyusut dengan penutupan 47 gerai, dan sebanyak 2.274 karyawan harus dirumahkan. Hal ini tak hanya menimbulkan tekanan internal, tetapi juga memicu hilangnya kepercayaan investor.
Pada 2 Juli 2025, saham FAST sempat terjun bebas hingga menyentuh level Rp93 per lembar, menandai titik terendah sepanjang sejarah perusahaan.
Bandingkan dengan harga saham FAST pada awal 2024 yang masih berada di kisaran Rp200-an. Koreksi ini mencerminkan keraguan pasar terhadap kemampuan perusahaan untuk pulih dan beradaptasi.
Namun di tengah gelombang krisis ini, secercah harapan coba dinyalakan melalui aksi korporasi berupa Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) atau private placement pada Mei–Juni 2025. Sebanyak 533,33 juta saham baru diterbitkan dengan harga pelaksanaan Rp150 per saham, menghasilkan dana segar sekitar Rp80 miliar.
Dua pemegang saham utama turut serta:
PT Gelael Pratama meningkatkan kepemilikan dari 40% menjadi 41,18%PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) dari 35,84% menjadi 37,51%
Dana tersebut digunakan untuk pembelian persediaan (Rp52 miliar) dan efisiensi tenaga kerja (Rp28 miliar). Rasio utang terhadap modal pun turun dari 26 kali menjadi sekitar 16 kali, memberikan sedikit ruang bernapas dalam hal struktur keuangan.
Apakah Ini Cukup?
Jawabannya: belum tentu.
Private placement hanyalah pereda sementara, bukan penyembuh utama. Di lapangan, FAST masih harus menghadapi:
Persaingan ketat dari brand lokal dan globalPerubahan gaya hidup konsumen yang kini mengarah pada pola makan sehatDan yang paling sulit: krisis kepercayaan akibat kampanye boikot yang beredar luas di masyarakat
Meskipun manajemen FAST telah menegaskan bahwa KFC Indonesia tidak terafiliasi dengan Zionisme, publik—terutama generasi muda digital—memiliki persepsi tersendiri. Di era media sosial, persepsi bisa lebih kuat dari kenyataan.
Konsumen Butuh Ketulusan, Bukan Gimmick
CSR dan kampanye sosial tak lagi cukup. Konsumen kini cerdas, kritis, dan penuh tuntutan moral. Mereka ingin melihat aksi nyata, bukan hanya donasi simbolik. Dalam situasi seperti ini, keberpihakan bukan sekadar strategi komunikasi, tapi juga strategi keberlanjutan bisnis.
Saatnya KFC Indonesia Menunjukkan Nurani
Namun, jika KFC Indonesia benar-benar ingin meneguhkan kembali kepercayaan publik, langkah simpatik yang nyata tidak bisa ditunda.
Di tengah duka mendalam atas gugurnya dr. Marwan Al-Sultan—Direktur RS Indonesia di Gaza—yang tewas bersama keluarganya akibat serangan Israel, publik menanti sikap tegas dan empatik dari KFC Indonesia.
Ini bukan semata isu keagamaan, tapi tragedi kemanusiaan yang menyentuh nurani bangsa.
Menunjukkan kepedulian yang tulus pada isu global semacam ini bisa menjadi momentum penting untuk membangun kembali empati dan loyalitas konsumen Indonesia.
Penutup: Lebih dari Sekadar Ayam Goreng
Di tengah gelombang boikot, tantangan operasional, dan tekanan pasar modal, jalan KFC Indonesia untuk bangkit kembali sangat berat, namun bukan tidak mungkin.
Sejarah mencatat bahwa banyak brand besar pernah terpuruk dan berhasil bangkit—syaratnya, mereka mendengar suara konsumennya, beradaptasi dengan zaman, dan menjalankan bisnis dengan hati nurani.
Kini saatnya KFC Indonesia membuktikan bahwa mereka bukan hanya ikon ayam goreng, tetapi juga bagian dari bangsa ini—yang peduli, bertanggung jawab, dan siap berubah demi keberlanjutan.
Apakah mereka mampu?
Waktu dan langkah nyata akan menjawabnya.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
