Kesehatan Mental Gen Z, Kunci Masa Depan

Posted on

Menghadapi Kesehatan Mental Generasi Z di Indonesia

Di tengah tuntutan akademik yang tinggi, aktivitas organisasi yang padat, dan ketidakpastian masa depan kerja, seorang mahasiswa di kota besar menghadapi tekanan mental yang luar biasa. Di saat yang sama, ia juga melihat media sosial penuh dengan konten pencapaian orang lain, yang bisa memicu perasaan kurangnya diri dan tekanan untuk terus berprestasi.

Kondisi ini sering kali membuat remaja merasa tidak aman dalam berbicara tentang masalah mereka. Bisa jadi karena keluarga masih menganggap masalah mental sebagai aib, atau karena kesibukan orang tua yang membuat mereka tidak memiliki ruang untuk berbicara. Akibatnya, lingkaran stres berkelanjutan dapat berkembang menjadi depresi serius tanpa disadari oleh orang-orang terdekat.

Selain itu, konflik keluarga juga berkontribusi terhadap tekanan psikologis. Banyak remaja merasa tidak didukung oleh orang tua, bahkan merasa terluka ketika ditegur secara keras. Mereka juga cemas akan pengalaman traumatis masa lalu seperti bullying atau pelecehan seksual, serta khawatir tentang kejadian buruk di masa depan, seperti perceraian orang tua.

Namun, di balik semua tantangan ini, Gen Z menyimpan potensi besar. Generasi ini sangat adaptif terhadap teknologi, kritis terhadap isu sosial, dan berani menyuarakan keadilan. Contoh terbaru adalah pidato siswa sekolah menengah di Nepal yang berhasil mengubah kekuasaan negara. Riset menunjukkan bahwa Gen Z lebih peduli pada lingkungan, mendukung keberagaman, dan pro terhadap keadilan sosial dibanding generasi sebelumnya.

Jika kesehatan mental mereka dijaga, energi kritis Gen Z bisa menjadi modal transformatif bagi bangsa. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa memastikan Gen Z menjadi modal transformatif bangsa?

Langkah-Langkah yang Perlu Dilakukan

1. Pola Asuh Orang Tua yang Lebih Adaptif

Orang tua perlu menyesuaikan pola asuh. Pendekatan otoriter tidak lagi efektif. Gen Z butuh ruang aman untuk bercerita, validasi emosional, dan didengarkan tanpa stigma. Orang tua harus belajar agar rumah menjadi ruang pemulihan, bukan tekanan tambahan.

2. Reformasi Sistem Pendidikan

Lembaga pendidikan perlu berbenah total. Sekolah dan kampus tidak boleh hanya menjadi pabrik nilai. Mereka perlu menghadirkan konselor terlatih, mengintegrasikan literasi kesehatan mental ke dalam kurikulum, dan menciptakan budaya belajar yang menyehatkan.

3. Akses Layanan Kesehatan Mental yang Lebih Baik

Lembaga kesehatan perlu memperluas akses layanan psikologis. Di Indonesia, jumlah psikolog klinis masih terbatas dan biayanya mahal. Pemerintah harus intervensi dengan subsidi, telemedicine, dan program intervensi berbasis komunitas agar layanan kesehatan mental tersedia bagi semua, termasuk anak muda di daerah.

4. Lingkungan Kerja yang Ramah Mental

Perusahaan perlu menciptakan suasana kerja yang ramah mental. Work-life balance menjadi kebutuhan, dan perusahaan harus sadar akan pentingnya ini. Gen Z terbuka dalam membicarakan isu sensitif, termasuk kesehatan mental. Namun, keterbukaan ini belum sepenuhnya terakomodasi di ruang kerja.

5. Kebijakan Pemerintah yang Jelas dan Tegas

Pemerintah harus hadir sebagai garda terdepan dengan menghadirkan kebijakan yang jelas dan tegas. Kampanye literasi kesehatan mental nasional perlu digencarkan, dan regulasi anti-bullying harus ditegakkan. Alokasi anggaran untuk layanan kesehatan jiwa harus ditingkatkan secara signifikan dan berkelanjutan.

Teknologi dan Kesehatan Mental

Intervensi digital seperti aplikasi, telemedicine, dan platform berbasis kecerdasan buatan kini hadir sebagai solusi alternatif. Namun, teknologi bukanlah obat tunggal satu-satunya. Ia hanya bisa memberi manfaat jika dibangun di atas fondasi kepercayaan, bukti ilmiah, kualitas, dan keterjangkauan. Kerangka TEQUILA (Trust, Evidence, Quality, Usability) menjadi prinsip penting dalam penggunaan teknologi ini.

Kesimpulan

Merawat anak-anak dengan gangguan mental bukan hanya tugas pemenuhan kewajiban, melainkan perjalanan cinta yang panjang. Orangtua yang sehat jiwanya akan menjadi cahaya pemulih yang lebih kuat untuk anak. Kita semua harus menjaga agar orangtua yang merawat anak dengan masalah mental tidak kehabisan daya dan semangat.

Sudah saatnya Indonesia berhenti merasa ‘jijik’ terhadap mereka yang menyandang gangguan mental. Gangguan mental harus dipandang sebagai hal yang wajar, sebagaimana flu yang bisa dialami siapa saja. Kita harus menormalisasi sikap untuk menolong, bukan menertawakan atau menjauhi. Di titik itulah kesehatan mental generasi muda tidak lagi menjadi aib, melainkan bagian dari kemanusiaan kita bersama, fondasi bagi bangsa yang ingin melangkah menuju masa depan yang lebih sehat dan beradab.