Keracunan MBG: Nutrisi yang Berubah Jadi Bencana

Posted on

Janji yang Terlupakan

Di atas piring, seharusnya ada janji kehidupan. Seporsi nasi, sepotong ikan, sayur sederhana—bagi seorang anak di sekolah dasar di pelosok Cipongkor, Bandung Barat, itu lebih dari sekadar makan siang. Itu adalah simbol negara hadir, janji pemimpin yang hendak memberi gizi agar mereka tumbuh sehat, cerdas, dan kuat. Tapi piring itu justru menjadi jalan menuju rumah sakit. Ratusan anak mual, muntah, lemas, beberapa diinfus. Piring itu, yang seharusnya membawa gizi, malah menyajikan racun. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dimaksudkan untuk menutup jurang gizi justru membuka luka baru: keracunan massal.

Tragedi ini menyentak nurani kita. Sebab di balik semua slogan “gizi seimbang” dan “generasi emas”, yang tersaji ternyata kebalikannya: gizi yang berbalik jadi tragedi.

Angka yang Menyedihkan

Data resmi bercerita dingin. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga akhir September 2025 sudah terjadi 70 kejadian luar biasa (KLB) keracunan MBG, dengan 5.914 penerima manfaat terdampak. Angka ini baru potret satu versi. Kementerian Kesehatan menyebut 60 kasus dengan 5.207 korban; BPOM menghitung 55 kasus dengan 5.320 korban; bahkan rekap media mencatat lebih dari 6.400 orang. Di balik perbedaan statistik itu, ada anak-anak yang terbaring di rumah sakit, orangtua yang cemas menunggu, dan guru yang kebingungan menghadapi siswa yang muntah serempak. Angka menjadi tubuh yang menggigil, perut yang melilit, wajah pucat yang tak pernah tercatat sempurna di tabel pemerintah.

Penyebab yang Jelas

Apa yang salah? Laboratorium memberi petunjuk. Dari 163 sampel makanan MBG di Jawa Barat, 23 persen terkontaminasi bakteri berbahaya: Salmonella, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae, hingga Bacillus cereus. Nama-nama yang seharusnya hanya terdengar di ruang kuliah mikrobiologi, kini hadir di meja makan sekolah dasar. Tapi ini bukan semata persoalan bakteri. Para ahli menegaskan, masalah utamanya ada di rantai panjang: bahan pangan yang disimpan tanpa kendali suhu, dapur yang tak bersertifikat laik higienis, tenaga penjamah yang tanpa pelatihan memadai, air bersih yang tak dijamin. Dari “danger zone” suhu 5–60 derajat Celsius hingga talenan yang tak pernah dipisah antara daging mentah dan sayuran, semua menjadi pintu masuk racun. Maka bukan semata makanan yang kotor, melainkan sistem yang cacat.

Lalai dalam Pengawasan

Di sinilah ironi itu muncul. Dari 8.583 dapur penyedia MBG (SPPG), hanya 34 yang punya Sertifikat Laik Higiene Sanitasi. Angka itu bahkan tak sampai satu persen. Artinya, ribuan dapur beroperasi tanpa izin higienis, tanpa standar minimal yang menjamin makanan aman. Negara tahu, tapi tetap membiarkan. Program ini berjalan dengan gegap gempita. Presiden bicara soal “anak-anak sehat”, pejabat daerah berfoto dengan menu MBG, tapi di balik layar, dapur-dapur itu lebih banyak berjalan dengan improvisasi, kadang seadanya. Negara seperti buru-buru menyajikan makanan tanpa pernah memastikan meja sudah bersih.

Keberadaan Negara yang Tidak Jelas

Apa arti negara jika pada piring anak-anak pun ia lalai? Negara hadir di papan nama MBG, di baliho dengan wajah tersenyum pejabat, tapi absen di ruang yang paling penting: dapur, talenan, dan panci yang layak. Kita sering mendengar frasa “negara hadir”. Tapi kehadiran macam apa jika justru membawa penyakit? Negara tidak boleh sekadar hadir di foto peresmian, tapi harus hadir dalam kendali mutu, dalam SOP yang ditegakkan, dalam pengawasan yang ketat. Jika tidak, yang hadir hanyalah simbol, bukan substansi.

Politik yang Mengabaikan Kesehatan Anak

Tragedi ini pun dengan cepat berubah jadi arena politik. Ada yang menuding oposisi mempolitisasi keracunan MBG. Ada yang menyebut kritik sebagai serangan terhadap program unggulan presiden. Padahal yang dipertaruhkan bukanlah reputasi politik, melainkan kesehatan anak-anak bangsa. Politik, dengan segala intriknya, kerap menutupi suara lirih anak-anak yang muntah di sudut kelas. Dalam riuh politik, suara perut yang melilit bisa tenggelam. Padahal, politik seharusnya menjaga agar dapur program negara tak berubah jadi sumber malapetaka.

Empati yang Harus Diwujudkan

Mungkin kita perlu berhenti sejenak dari angka, dari data yang diperdebatkan, dan mendengarkan satu cerita kecil. Seorang anak di Sumbawa, 10 tahun, pulang dari sekolah dengan wajah pucat. Ibunya panik, membawanya ke Puskesmas. Ia menangis pelan, tubuhnya lemas, hanya karena makan siang yang seharusnya menyelamatkan. Itu bukan sekadar keracunan. Itu adalah pengkhianatan atas janji: bahwa negara akan memberi makan, bukan meracuni. Empati mengajarkan kita melihat satu wajah kecil itu sebagai lebih penting dari ribuan angka di tabel resmi.

Sistem yang Perlu Diperbaiki

Keracunan MBG mengingatkan bahwa urusan pangan adalah urusan sistem. Tidak cukup memberi anggaran triliunan, tidak cukup memberi slogan. Sistem berarti rantai: dari bahan baku di pasar lokal, penyimpanan dalam logistik dingin, dapur yang higienis, tenaga yang terlatih, distribusi yang tepat waktu, sampai meja makan yang aman. Setiap rantai yang putus—satu saja—akan berujung tragedi. Dan negara, dengan segala birokrasi dan institusi pengawasnya, seharusnya menjahit rantai itu dengan disiplin. Bukan membiarkan longgar, lalu mengumumkan angka korban setiap kali KLB terjadi.

Ujian bagi Semua Pihak

Keracunan MBG adalah ujian besar. Ujian bagi Badan Gizi Nasional, apakah ia sekadar biro baru dengan nama indah, atau lembaga yang benar-benar mampu menjamin pangan aman. Ujian bagi BPOM, apakah ia hanya mengeluarkan aturan, atau benar-benar menegakkan pengawasan. Ujian bagi Kementerian Dalam Negeri, apakah ia serius memastikan Satgas MBG bekerja, atau sekadar membuat laporan. Dan ujian bagi kita semua: apakah kita masih mau percaya bahwa negara mampu memberi makan anak-anak kita dengan aman, atau kita harus kembali bergantung pada bekal seadanya dari rumah.

Harapan untuk Perubahan

Namun tragedi, seperti juga luka, bisa jadi panggilan untuk berbenah. Keracunan MBG harus jadi titik balik, bukan sekadar aib. Negara harus berhenti menganggap dapur sekolah sebagai proyek kecil. Ia harus menegakkannya setara dengan pembangunan jalan tol atau bendungan. Sertifikasi dapur harus diwajibkan, pelatihan tenaga penjamah harus dijalankan, rantai dingin logistik harus dijaga, inspeksi harus rutin, dan dapur yang lalai harus ditutup. Bukan demi angka politik, tapi demi piring yang kembali jadi simbol kehidupan.

Anak-anak yang kemarin muntah di Cipongkor atau Sumbawa berhak mendapat kompensasi, berhak mendapat jaminan bahwa itu tak akan terulang. Mereka berhak mendapat janji baru—yang ditepati.

Ingatan yang Penting

Sejarah mencatat tragedi manusia kerap lahir dari lupa. Kita lupa pada yang kecil, pada detail yang tampak remeh, pada dapur sederhana di pojok sekolah desa. Kita sibuk pada narasi besar, pada pidato dan rapat kabinet. Dan lupa bahwa detail itu bisa meruntuhkan narasi besar. Keracunan MBG adalah pengingat keras: jangan pernah meremehkan detail. Karena di situ letak hidup dan mati.

“Keracunan MBG: Gizi yang Berbalik Jadi Tragedi” bukan sekadar judul. Ia adalah realitas getir sebuah negara yang ingin memberi makan, tapi lupa memberi jaminan aman. Sebuah negara yang ingin hadir, tapi justru absen di ruang yang paling menentukan. Kini kita menunggu: apakah negara akan menanggapi tragedi ini dengan politik pembelaan diri, atau dengan keseriusan membenahi sistem. Karena yang dipertaruhkan bukanlah citra kekuasaan, melainkan tubuh-tubuh kecil yang rapuh—dan masa depan republik.