Kementerian HAM dan Tantangan Efek Jera bagi Pelaku Intoleransi

Posted on

Pada Jumat, 27 Juni 2025, sebuah vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, yang digunakan untuk kegiatan keagamaan (retret) menjadi sasaran aksi massa. Peristiwa ini tidak hanya mencoreng suasana damai acara tersebut, tetapi juga meninggalkan luka fisik akibat perusakan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Tidak sedikit pihak yang merespons cepat kejadian ini, termasuk pejabat daerah dan aparat penegak hukum.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, langsung turun tangan dengan mendatangi lokasi pada Senin, 30 Juni 2025. Dalam kunjungannya, ia menegaskan bahwa tindakan perusakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang harus dituntaskan. Ia pun berjanji akan mengawal proses hukum terkait kasus ini, memberikan harapan bagi masyarakat bahwa perilaku intoleransi tidak akan dibiarkan begitu saja. Langkah konkret dari aparat kepolisian pun menyusul, dengan penetapan tujuh tersangka atas dugaan perusakan vila.

Namun, pada 4 Juli 2025, jumlah tersangka bertambah menjadi delapan orang, seperti yang disampaikan oleh Kabidhumas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan. Para tersangka dijerat dengan pasal 170 jo 406 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama. Meski demikian, upaya hukum yang telah dilakukan tampaknya mendapat tantangan serius dari langkah yang diambil oleh Kementerian HAM.

Pernyataan kontroversial datang dari Stafsus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, saat pertemuan dengan Forkopimda dan pemuka agama di Pendopo Bupati Sukabumi pada 3 Juli 2025. Ia menyatakan bahwa Kementerian HAM siap memberikan jaminan kepada para tersangka. Tak hanya itu, Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat juga mengeluarkan pernyataan tertulis yang senada, dengan menawarkan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif.

Langkah ini menuai banyak kritik. Seharusnya, Kementerian HAM hadir sebagai lembaga yang menjaga hak asasi manusia, termasuk hak beribadah setiap warga negara, terutama kelompok minoritas. Alih-alih melindungi korban, langkah yang diambil justru dinilai membela pelaku intoleransi. Ini bertentangan dengan esensi dasar dari fungsi Kementerian HAM, yaitu menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga negara.

Keadilan restoratif memang bisa menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian perkara. Namun, dalam kasus seperti ini, dampaknya perlu dicermati secara lebih luas. Dalam perspektif utilitarianisme, penghukuman harus memberikan manfaat baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat secara umum. Sayangnya, jika penyelesaian dilakukan secara restoratif tanpa didampingi tindakan tegas, maka pesan yang sampai ke masyarakat justru akan menormalisasi perilaku intoleransi.

Menurut data dari Setara Institute, Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat insiden intoleransi yang cukup tinggi, terutama terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Oleh karena itu, sangat penting untuk memberlakukan tindakan hukum yang tegas, agar ada efek jera dan masyarakat merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.

Alih-alih membela pelaku, Kementerian HAM sebaiknya fokus pada perlindungan terhadap mereka yang rentan dikriminalisasi, seperti aktivis lingkungan atau masyarakat adat. Contohnya adalah masyarakat di Poco Leok, Manggarai, NTT, yang tengah memperjuangkan wilayah tradisional mereka. Atau keluarga korban tragedi Kanjuruhan yang sudah lebih dari 1000 hari mencari keadilan.

Polres Sukabumi, meskipun sudah menunjukkan komitmen dengan menetapkan delapan tersangka, perlu memastikan bahwa proses hukum tetap berjalan transparan dan tegas. Ketegasan ini bukan hanya penting untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya intoleransi yang semakin merajalela. Dengan pendekatan yang benar, pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menciptakan contoh nyata bahwa Indonesia adalah negara hukum yang tidak mentolerir segala bentuk pelanggaran HAM, termasuk tindakan yang mengganggu kebebasan beribadah warganya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *