Kafe Malang dan Surabaya Kini Lebih Selektif Putar Musik

Posted on

Pentingnya Lisensi Musik di Ruang Publik

Musik sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana kafe atau tempat nongkrong. Bagi banyak orang, musik tidak hanya sekadar latar belakang tetapi juga menciptakan suasana yang nyaman dan memperkuat perasaan keintiman. Namun, situasi ini mulai berubah seiring munculnya aturan baru mengenai penggunaan musik di ruang publik.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa musik yang diputar di ruang publik harus memiliki lisensi resmi dan wajib membayar royalti. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak cipta para pencipta musik serta memastikan adanya mekanisme pembagian pendapatan yang adil.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ujar Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI beberapa waktu lalu.

Langkah Tepat, Tapi Ada Keterbatasan

Di Malang, Dekker Koffie mengambil langkah untuk mematuhi aturan tersebut meskipun belum ada surat resmi atau arahan langsung dari pemerintah. Mereka memilih untuk hanya memutar lagu-lagu luar negeri agar tidak terkena risiko pelanggaran hukum.

“Sejak 1 Agustus kemarin, kami hanya memutar lagu luar saja,” kata Arya Dwiffa, marketing kafe tersebut. “Sejauh ini belum ada penyampaian atau sosialisasi resmi. Kami hanya inisiatif mengikuti informasi yang beredar.”

Langkah ini tentu berdampak pada playlist yang biasanya diputar acak dari Spotify. Kini, pemilihan lagu lebih selektif karena tidak semua lagu bisa digunakan. Akibatnya, fleksibilitas dalam memenuhi permintaan pelanggan menjadi lebih terbatas.

Arya Dwiffa menyampaikan harapan agar aturan ini tidak terlalu membebani usaha kecil. Ia berharap prosedur lisensi bisa lebih jelas dan mudah diakses agar kafe tetap bisa memutar lagu favorit tanpa terganggu oleh aturan yang rumit.

Pemilik Kafe Pilih NCS untuk Keamanan

Di Surabaya, Galih Phuja Ardian, pemilik Kedai Lima Sembilan, memilih untuk hanya memutar No Copyright Sound (NCS). Alasan utamanya adalah ketakutan akan sanksi jika tidak mematuhi aturan.

“Saya lihat-lihat di TikTok kok kedai atau kafe daerah Jabodetabek banyak yang kena makanya saya langsung mutusin buat muter NCS,” katanya. Meski tidak ada dampak langsung terhadap penjualan, ia merasa penting untuk menjaga suasana dengan musik bebas royalti.

Galih, yang juga merupakan fotografer dan konsultan branding, mendukung gerakan perlindungan hak cipta. Namun, ia menyayangkan kurangnya sosialisasi yang menyeluruh. Menurutnya, aturan ini datang tiba-tiba lewat media sosial setelah kasus viral Mie Gacoan.

UMKM Masih Belum Siap

Meski demikian, Galih mengaku bahwa UMKM masih belum sepenuhnya siap menghadapi aturan ini. Ia menyatakan bahwa selama musik bebas royalti tidak mengganggu penjualan, maka itu menjadi kompromi terbaik saat ini.

“Awalnya kami mengira hanya perusahaan besar yang disasar, tapi ternyata UMKM pun juga bisa kena sidak LMK. Jadi kami putar NCS saja,” ujarnya.

Ia berharap suatu hari nanti, ketika usahanya berkembang, ia bisa memutar musik dengan lisensi resmi sesuai undang-undang. Namun, untuk saat ini, NCS tetap menjadi pilihan yang aman dan efektif.