PIKIRAN RAKYAT
– Mengambil setting waktu pada tahun 2027, film Serangan di Bukit Duri menunjukkan kondisi sosial yang kian menyedihkan, dipenuhi oleh permusuhan berdasar etnis serta diskriminasi struktural yang tentunya masih relevan dengan situasi yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia sekarang.
Walaupun ceritanya didasari pada perdebatan yang tengah berkembang, sang pengarah film “Pengepungan di Bukit Duri,” Joko Anwar, menyangkal tuduhan bahwa ia mencoba membuat orang merasa ketakutan melalui karyanya. Sebalinya, tujuan Joko Anwar adalah untuk meningkatkan semangat warga agar lebih berani mengomentari gagalnya pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan lama yang belum juga terselesaikan.
“Permasalahan dalam negeri dapat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat, apabila suatu negara seperti Alpha menghadapi konflik internal. Hal ini bisa menimbulkan gesekan sosial dan perpecahan. Sebagai warga negara, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi diri,” jelas Joko Anwar saat ditemui oleh Pikiran-Rakyat.com di Bandung pada tanggal 19 April 2025.
Joko Anwar menginginkan agar film tersebut dapat menciptakan kesadaran akan kebebasan masyarakat dalam berkomentar tanpa khawatir terhadap diskriminasi yang sudah lama menjadi ancaman menakuti mereka.
“Film ini dapat digunakan oleh orang sebagai titik awal untuk membahas masalah-masalah yang ada di Indonesia, seperti diskriminasi rasial, kekerasan, dan sistem pendidikan,” jelas Joko Anwar.
Bukan hanya menghasilkan sebuah film luar biasa, demi meningkatkan kesan keaslian pada karyanya, Joko Anwar melaksanakan wawancara menyeluruh dengan pemuda dan pengajar guna menciptakan narasi yang aktual.
Beberapa pemeran utama dalam film ini meliputi Morgan Oey, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Omara Esteghala, Dewa Dayana, Faris Fadjar Munggaran, serta Florian Rutters.
Ringkasan Serangan ke Bukit Duri
Peristiwa kacau pada tahun 2009 menyebabkan trauma batin yang parah bagi Edwin (Morgan Oey), seorang lelaki bersuku Tionghoa yang tetap terganggu oleh kejadian tragis itu walaupun sudah bertahun-tahun berlalu. Saat ini, dia bekerja sebagai guru di SMA Duri, tempat banyak pelanggaran melibatkan para muridnya.
Meskipun begitu, tugas Edwin di sekolah tidak terbatas pada posisi guru saja. Dia memiliki tujuan khusus yang dipenuhi dengan emosi: menemukan sepupunya yang hilang, seperti janjinya kepada saudaranya sebelum meninggal dunia. Proses pencarian tersebut melibatkan banyak rintangan yang mendorong ambiguitas kesabarannya serta keyakinannya.
Film bertema drama-thriller ini mengajak penonton untuk merasakan pertarungan hidup Edwin, seorang tokoh yang tidak hanya harus menangani trauma dari pengalamannya di masa lalu, tapi juga menghadapi situasi sosial yang kian hari makin memprihatinkan.
Tension yang semakin memuncak sepanjang cerita menggambarkan SMA Duri tidak lagi sebagai pusat pendidikan, tetapi lebih mirip medan perjuangan untuk mereka yang berusaha bertahan dalam kekacauan tersebut.
Tahun 2027 menjadi latar tempat untuk film ini yang menampilkan visi dystopian tentang masa depan Indonesia—di mana adegan-adegannya mencerminkan pertikaian etnis, ketimpangan dalam kebijakan sistemik, serta masalah-masalah di bidang pendidikan yang masih berlanjut.
Di luar kisah serunya, film ini memberi pesan kuat mengenai jalannya negeri kita bila masalah sosial tak terselesaikan. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Joko Anwar, produksi tersebut mencerminkan tantangan signifikan yang tengah dihadapi negara kita dan mendorong penonton bertanya-tanya: apakah kita akan biarkan situasi seperti ini terus berlanjut?
Film thriller “Pengepungan di Bukit Durikarya” karya Joko Anwar bakal dirilis pada tanggal 17 April 2025. Ditetapkan dalam setting tahun 2027, movie tersebut mencerminkan situasi sosial yang makin menyedihkan serta dipenuhi oleh rasis dan diskriminasi berbasis sistem yang tentunya akan membuat Anda terhenyak.
relate
mengenai situasi yang tengah dihadapi oleh masyarakat Indonesia sekarang.
Bukan hanya sebuah film, Pengepungan di Bukit Duri berfungsi sebagai sarana kritis yang dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. ***