Setya Novanto Bebas Bersyarat, Berikut Sejarah Hukumannya
Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang terlibat dalam kasus korupsi proyek e-KTP, resmi bebas bersyarat menjelang perayaan HUT ke-80 RI. Keputusan tersebut diambil berdasarkan surat keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 dengan nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025. Kebebasan ini diberikan setelah pemeriksaan peninjauan kembali (PK) menunjukkan bahwa masa hukumannya telah melebihi batas waktu yang ditentukan.
Menurut Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto, Setnov sudah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat karena telah menjalani 2/3 dari hukuman pidana. Selain itu, ia juga dianggap memiliki perilaku baik selama menjalani hukuman, seperti aktif dalam program pertanian dan perkebunan serta menjadi inisiator klinik hukum di Lapas Sukamiskin.
Penetapan Hukuman Awal dan Pengurangan Hukuman
Setya Novanto awalnya dihukum 15 tahun penjara atas tindakan korupsinya dalam proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun. Namun, hukuman tersebut dikurangi setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK). Dengan demikian, total hukuman yang diterimanya berkurang menjadi 12,5 tahun.
Selain itu, Setnov juga mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman sebesar 28 bulan dan 15 hari. Hal ini membuat jumlah hukuman yang ia jalani menjadi lebih pendek dari yang awalnya ditentukan.
Perjalanan Kasus Setya Novanto
Kasus Setya Novanto tidak hanya terkenal karena besarnya kerugian negara, tetapi juga karena proses hukumnya yang penuh drama. Awalnya, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, namun kemudian berhasil menggugurkan status hukumnya melalui praperadilan. Meskipun begitu, KPK akhirnya kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka pada September 2017.
Proses penangkapan Setnov juga sempat viral karena kecelakaan yang terjadi saat ia akan menyerahkan diri. Kecelakaan tersebut disebut sebagai rekayasa oleh kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi, yang akhirnya juga ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan.
Sidang dan Penahanan
Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam sidang perdana pada 13 Desember 2017, ia tidak mau berbicara karena kondisi kesehatannya. Akhirnya, ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta pada 24 April 2018. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta dan hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Di tengah menjalani hukumannya, Setnov kembali menjadi sorotan setelah Ombudsman menemukan bahwa selnya lebih mewah dibandingkan tahanan lainnya. Inspeksi dilakukan oleh Ditjenpas dan Najwa Shihab pada Juli 2018.
Pengurangan Hukuman oleh Mahkamah Agung
Pada tahun 2025, Mahkamah Agung mengabulkan PK yang diajukan oleh Setnov. Dengan putusan No.32 PK/Pid. Sus/2020, hukumannya dipangkas dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Selain itu, denda yang dijatuhkan sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan serta uang pengganti US$7,3 juta yang telah dikompensasi sebesar Rp5 miliar. Sisa uang pengganti yang masih harus dibayarkan adalah Rp49 miliar subsidair 2 tahun penjara.
Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun terhitung sejak selesainya pemidanaan.
Bebas Bersyarat dan Alasan Pembebasan
Setya Novanto resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025. Statusnya berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Bandung. Salah satu alasan pembebasan ini adalah aktivitasnya dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan serta inisiatif pembuatan klinik hukum di Lapas Sukamiskin.
Selain itu, Setnov telah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Masa penahanannya sebelumnya dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Ia juga telah membayar denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebesar Rp43 miliar, dengan sisa sebesar Rp5,3 miliar yang harus dibayarkan secara subsidair 2 bulan 15 hari.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti menegaskan bahwa kebijakan pembebasan bersyarat diberlakukan untuk semua narapidana yang memenuhi syarat sesuai ketentuan hukum. “Itu jadi pertimbangan dan semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya seperti itu. Jadi bukan hanya Setnov,” paparnya.
