Masalah HIV/AIDS di Bali yang Masih Menjadi Perhatian
PasarModern.com – Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Bali. Fakta bahwa jumlah penderita baru terus bertambah menunjukkan bahwa penyakit ini masih aktif dan memerlukan perhatian yang lebih besar. Untuk mengendalikan penyebarannya, upaya pencegahan dan penanggulangan harus terus dilakukan.
Salah satu langkah penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui edukasi dan kampanye. Selain itu, akses ke fasilitas kesehatan dan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS juga perlu ditingkatkan. Mendorong perilaku aman seperti menggunakan kondom dan melakukan tes HIV secara rutin juga sangat penting. Tidak kalah pentingnya adalah mengeliminir atau setidaknya mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.
Hal ini terangkat dalam acara pelatihan jurnalistik dan field trip yang digelar oleh Kelompok Jurnalis Peduli AIDS Bali bersama dengan AIDS Healthcare Foundation (AHF) di Yayasan Kerti Praja pada Sabtu 11 Oktober 2025. Acara ini diikuti sekitar 30 orang jurnalis dan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam meliput masalah HIV dan AIDS di Bali.
Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Dewa Nyoman Suyetna, Pengelola Program HIV Klinik Utama WM Medika, Yayasan Kerti Praja, menyebutkan bahwa masih banyak kasus positif HIV pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesama laki-lai. Bahkan, kasus homoseksual dan heteroseksual ini datang dari usia-usia yang sangat muda, termasuk para pelajar. Contohnya, ada tiga kasus positif HIV yang diidap oleh tiga pelajar yang memeriksakan diri di klinik ini, dua di antaranya adalah LSL (laki-laki seks laki).
Menurut data Yayasan Kerti Praja, rata-rata belasan kasus ditemukan setiap bulannya di Denpasar dan Badung, dengan mayoritas dari kasus positif baru tersebut berasal dari LSL. Dari jumlah positif tersebut, rata-rata 10 orang adalah LSL. Ini belum termasuk waria dan transgender.
Stigma dan Kendala dalam Penanganan
Suyetna menjelaskan bahwa kelompok LSL menjadi yang paling rentan terhadap HIV. Selain HIV, mereka juga terdeteksi banyak terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya seperti sifilis. Tingginya angka kasus pada kelompok LSL disebabkan oleh sulitnya proses deteksi. Stigma negatif dari masyarakat dan bahkan keluarga membuat mereka enggan untuk melakukan tes rutin.
Penanganan HIV/AIDS sendiri mengalami banyak kendala di lapangan, salah satunya adalah stigma masyarakat dan bahkan pemerintah. Suyetna juga menyoroti kurangnya dukungan pemerintah dalam pencegahan, khususnya terkait kondom. “Salah satunya adalah kondom yang diedarkan pemerintah hanya dalam program KB saja. Padahal, pemerintah juga seharusnya membagikan kondom untuk pencegahan penularan,” ujarnya.
Kesadaran PSK di Bali
Berbeda dengan LSL, Suyetna menyebut bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) di Denpasar dan Badung justru menunjukkan kesadaran yang lebih baik dalam melakukan tes rutin. Pihaknya bahkan proaktif mendatangi lokalisasi. Namun, petugas kini kesulitan menjangkau PSK yang bertransaksi secara daring melalui aplikasi di media sosial termasuk MiChat.
Menghapus Stigma dan Diskriminasi
Nana Widiestu, Koordinator Program AHF Indonesia, menambahkan bahwa diskriminasi terhadap pengidap HIV adalah masalah serius yang sering mereka hadapi. Stigma ini muncul akibat minimnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS. Salah satu isu yang menjadi konsen AHF Indonesia adalah pencegahan, terutama penggunaan kondom sebagai cara yang murah dan efektif. Namun, isu ini dianggap sensitif.
AHF berharap isu kondom dapat diterima lebih luas sebagai upaya pencegahan. Ia juga mengapresiasi respons Pemerintah Provinsi Bali yang dianggap cukup responsif. “Secara ranking Bali, kondisi yang ada di peringkat 5-6 nasional. Tapi pemerintah ya cukup responsif untuk membantu kami. Sehingga Bali bisa dijadikan role model untuk penanganan HIV/AIDS bagi daerah lain,” harapnya.
Tantangan dalam Penanganan
Di acara yang sama, Ketua Forum Peduli AIDS (FPA) Bali, dr Made Oka Negara, M.Biomed, FIAS, mengatakan bahwa sepanjang 2024 setidaknya sebanyak 2.006 orang dinyatakan positif HIV/AIDS di Bali, sementara sejak Januari-Juli 2025 sebanyak 1.193 kasus. Saat ini, tantangan utama adalah menghilangkan stigma (ending stigma) di masyarakat, karena diskriminasi tersebut membuat seseorang yang potensial terjangkit HIV/AIDS enggan melakukan pemeriksaan bahkan pengobatan.
Edukasi Pencegahan HIV/AIDS
Oka Negara mengatakan bahwa pemerintah daerah Bali sudah lama ikut peduli melalui regulasi-regulasi yang membuat lembaga yang peduli terhadap HIV/AIDS lebih leluasa bekerja. Namun, semangat tersebut harus kembali dikuatkan, salah satu langkahnya dengan inovasi dalam program pencegahan dan penanganan kasus serta mengubah stigma masyarakat.
Forum Peduli AIDS (FPA) Bali mengusulkan pemerintah daerah menambah kurikulum edukasi terkait pencegahan dan penanganan HIV/AIDS sejak usia dini. Ia melihat solusi ini merupakan langkah besar untuk mencapai target mengakhiri kasus HIV/AIDS pada tahun 2030.
“Kita butuh edukasi seksual kalau bisa lewat kurikulum, karena masalahnya aktivitas seksual itu tersembunyi, kita tidak pernah tahu, berbeda dengan merokok atau pakai narkoba, jadi pada akhirnya penting membuat perilakunya sehat lewat pengetahuan,” katanya.
FPA Bali menilai di kondisi sekarang pencegahan memang penting, namun melihat sebaran HIV/AIDS yang mulai banyak menjangkit pelajar, menurut dia stigma buruk terhadap upaya-upaya penanganan juga menjadi penting. Oleh karena itu dalam kurikulum yang ditawarkan, ia mengajak tidak hanya edukasi agar tidak melakukan aktivitas seksual terutama dengan banyak lawan jenis yang dimuat, namun juga langkah pencegahan penularan penyakit seksual melalui alat kontrasepsi dari karet atau kondom misalnya.
Selain itu, upaya penanganan setelahnya juga penting, sebab kerap kali temuan kasus terjadi pada orang yang kurang edukasi padahal saat ini obat untuk menekan sebarannya sudah ada dan mudah didapatkan.
“Kalau bisa dikomitmenkan lewat pengetahuan sehingga diberikan terstruktur dalam kurikulum, jadi nanti tergantung bentuk sekolah, kalau IPA bisa masuk pada pelajaran biologi karena ada materi reproduksi, IPS bisa sosiologi, jadi pasti ada tempat-tempatnya tinggal sesuaikan,” ujar Oka. ***