TOPIK #KaburAjaDulu tiba-tiba menjadi viral dan menarik perhatian publik. Tidak hanya sebagai lelucon, tetapi ia juga menggambarkan kekecewaan generasi muda Indonesia. Di balik leluconnya, ada kekecewaan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Tapi, kabur tanpa persiapan malah berisiko. Bagaimana cara menjadikan fenomena ini sebagai momentum refleksi?
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan tingkat pengangguran di kalangan usia 15-24 tahun mencapai 15,45%. Biaya pendidikan yang mahal dan kesempatan kerja yang terbatas menyebabkan kekecewaan. Tidak mengejutkan, banyak orang memilih mencari peluang di luar negeri. Namun, migrasi bukanlah solusi instan. Perlu perencanaan yang matang agar tidak sekadar melarikan diri dari masalah.
Di X (twitter), tagar ini ramai dengan informasi beasiswa, lowongan pekerjaan, hingga tips migrasi legal. Kompas (2023) melaporkan, warganet saling berbagi pengalaman bekerja di Jerman atau Australia. Ini sisi positif: protes dikemas produktif. Namun, pemerintah perlu menyikapinya sebagai alarm darurat.
Fenomena “brain drain” mengancam jika migrasi tidak diimbangi dengan kontribusi ke tanah air. Anies Baswedan dalam wawancara Kompas (2023) menyatakan, nasionalisme bukan soal lokasi geografis. “Berkaryalah untuk Indonesia dari mana pun Anda berada,” katanya. Ini mengingatkan pada diaspora India yang berkontribusi melalui transfer pengetahuan.
Pemerintah melalui KP2MI menjawab kampanye #AyoKitaBekerjaDiLuarNegeri. Tujuan kampanye ini adalah untuk mengarahkan migrasi secara legal dan terukur. Menurut Bank Dunia (2022), remitansi pekerja migran Indonesia mencapai 9,3 miliar dolar AS. Tetapi, uang saja tidak cukup. Pengalaman dan keahlian harus dibawa pulang.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah masih rendah. Berdasarkan instruksi Presiden Prabowo Subianto, anggaran pendidikan untuk tahun 2025 dialihkan. Dari total Rp. 724,2 triliun, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dipotong Rp. 7,272 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dipotong Rp. 56,607 triliun (Kompas.id, 2025). Hal ini memperburuk persepsi bahwa pendidikan bukan menjadi prioritas.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Politik Pendidikan Kolonial (2020) mengingatkan, pendidikan adalah investasi bangsa. Regenerasi terhambat jika aksesnya timpang. Pengurangan anggaran ini bisa memperlebar kesenjangan, memicu lebih banyak remaja memilih pergi ke luar negeri.
Di sisi lain, migrasi ilegal masih menjadi ancaman. Data BNP2TKI (2023) mencatat 1.234 kasus pekerja migran ilegal dalam setahun. Mereka rentan diserang eksploitasi. Kabur asal-asalan hanya mengulang lingkaran kesengsaraan. Literasi prosedur legal harus diperkuat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Media sosial menjadi dua lembing. Di satu sisi, ia memfasilitasi solidaritas seperti gerakan #KaburAjaDulu. Tapi, menurut penelitian Journal of Social Media and Society (2022), kepopuleran sering mengaburkan solusi sistematis. Tren bisa mereda, masalah tetap ada.
Sejarah mencatat, kabur bukan hal baru. Prabowo Subianto pernah “kabur” ke Yordania pada tahun 1998, seperti yang diungkap Tempo (2015). Tapi, ia kembali dengan jaringan bisnis dan politik. Kisah ini mengajarkan: kabur boleh, asal punya rencana pulang membawa perubahan.
Sosiolog Imam Prasodjo dalam buku Generasi Sandwich (2021) mengingatkan bahwa tekanan ekonomi membuat remaja terjepit. Mereka harus menafkahi orang tua sekaligus mempersiapkan masa depan. Tidak heran, tawaran gaji tinggi di luar negeri begitu menarik. Namun, keluarga tetap menjadi tali pengikat.
Lalu, bagaimana “kabur” yang bertanggung jawab? Pertama, lakukan riset mendalam. Buku “The Expatriate’s Guide to Working Abroad” (Smith, 2019) misalnya menyarankan melakukan analisis budaya kerja, biaya hidup, dan prosedur hukum. Kedua, bangun jaringan profesional sebelum berangkat.
Ketiga, jangan putuskan kontribusi ke Indonesia. Kisah ilmuwan seperti Dr. Joe Hin Tjio, penemu kromosom manusia, patut diteladani. Meski bekerja di Swedia, ia aktif mengajar di Universitas Indonesia (UI). Seperti kata Najwa Shihab, “Jadilah mata rantai yang menghubungkan Indonesia dengan dunia.”
Pemerintah pun harus membenahi diri. Laporan Bank Dunia (2023) menyebutkan, peningkatan anggaran penelitian 1% dari PDB dapat menciptakan 500.000 lapangan kerja berbasis inovasi. Reformasi birokrasi dan insentif bagi startup perlu diperkuat agar anak muda tidak merasa terpaksa keluar.
Di tingkat komunitas, gerakan seperti Indonesia Mengglobal patut diapresiasi. Mereka memberikan konsultasi gratis untuk pelajar yang berkeinginan mengejar pendidikan ke luar negeri. Kolaborasi semacam ini mengurangi kesenjangan informasi yang sering menjadi penyebab migrasi yang tidak bertanggung jawab.
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu adalah cermin retak generasi milenial. Retaknya bukan karena mereka malas, tapi karena sistem yang belum mampu menopang mimpi-mimpi mereka. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca (1988), “Orang boleh pintar sampai tingginya langit, tapi selama tidak menulis, dia akan hilang.”
Menulis di sini merupakan metafora. Generasi muda ingin meninggalkan jejak, tapi mereka membutuhkan kertas yang tak berlubang. Pemerintah harus menyediakan “kertas” itu melalui kebijakan inklusif. Sementara anak muda, meski kabur, harus tetap menuliskan tinta perubahan untuk Indonesia.