Jalan Bisikan Serinostalgia

Posted on

Keajaiban di Bawah Pohon Baobab

Matahari senja yang berwarna tembaga menyemburkan cahaya keemasan di kota Morondava, memantul di atas tanah merah laterit yang terbentang seperti karpet kuno. Di sepanjang jalan menuju desa, Avenue of the Baobabs berdiri megah, ratusan pohon baobab Adansonia grandidieri menjulang ke langit. Batangnya tebal seperti menara purba, sedangkan dahan-dahannya yang telanjang menari di angin seperti tangan leluhur yang menggapai. Di antara mereka, seorang bocah perempuan berlari, kakinya yang telanjang menginjak debu yang hangat. Namanya Zafy, dan hari ini, ia mendengar Renala (pohon baobab tertua di ujung jalan) berbisik.

“Zafy… tolong aku,” desisnya, samar seperti gemericik daun kering. Zafy berhenti. Ia tak pernah takut pada Renala. Sejak kecil, Neneknya selalu membawanya ke sini, duduk di bawah akar yang menjuntai seperti rambut nenek moyang, dan bercerita tentang mitos yang tak terucapkan di buku: “Baobab bukan pohon biasa, Nak. Ia tempat razana (leluhur) menyimpan fihenjanana (kenangan) mereka. Saat angin berhembus, itu suara mereka yang bernyanyi.” Tapi hari ini, bisikan Renala terdengar lemah, seperti orang sekarat.

Batang Renala yang biasanya kokoh retak di bagian bawah, daunnya gugur lebih cepat dari musimnya. Di desa, orang-orang berbisik: “Pohon ini mati, berarti fomba (adat) kita hancur. Laut akan marah, ladang akan tandus.” Nelayan mulai enggan melaut; petani menanam padi dengan ragu. Hanya Nenek yang masih setia datang, menyiram akar Renala dengan air kelapa dan toaka gasy (arak tradisional), sambil berdoa dalam bahasa yang tak dimengerti Zafy.

“Kenapa Renala sakit, Nenek?” tanya Zafy suatu sore, tangannya mengelus retakan di batang pohon. Nenek menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Dulu, Renala ini ditanam oleh Andriantsilavo, pemimpin pertama Morondava. Ia berjanji pada Zanahary (Tuhan): ‘Jika kami lupa pada tanah, pada laut, pada roh leluhur, biarkan baobab ini mati sebagai peringatan.’ Tapi kita mulai lupa, Nak. Anak-anak lebih suka bermain di pasir daripada mendengar cerita. Nelayan tak lagi memberikan fanampin’izy (sesajen) pada laut sebelum melaut. Renala merasakan lupa itu… dan ia sekarat.”

Zafy terdiam. Ia ingat kemarin, ketika Rakoto (nelayan muda) melempar jaring tanpa menyiramkan air laut ke langit sebagai rasa syukur. Ia ingat adiknya yang menertawakan ritual famadihana (upacara penggantian kain jenazah) karena “kuno”. Renala bukan hanya pohon. Ia adalah jembatan antara yang hidup dan yang telah pergi.

Malam itu, Zafy tak bisa tidur. Ia menggali ingatannya tentang cerita Nenek: “Untuk menyembuhkan baobab yang sekarat, kau harus memberinya nyenyere (nyanyian) dari hati, bukan dari mulut.” Esok pagi, ia mengumpulkan anak-anak desa di bawah Renala.

“Kita harus bernyanyi seperti leluhur,” katanya, suaranya bergetar. “Tapi bukan lagu biasa. Lagu yang kita ciptakan sendiri, dari apa yang kita rasa.” Anak-anak bingung. Mereka terbiasa bernyanyi hira gasy (lagu tradisional) hanya saat upacara. Tapi Zafy mulai, suaranya lirih:

“Renala, aza mandeha …
Henoko niteny taminao ny renibenao,
Momba ny onja manome trondro,
Momba ny tany misy voa…”

ho ansika daholo mandrakizay sy ny lalandava

“Renala, jangan pergi…
Aku dengar nenekmu bercerita,
Tentang ombak yang memberi ikan,
Tentang tanah yang menyimpan benih…” untuk kita selamanya

Perlahan, suara lain menyusul. Tombo, anak nelayan, menyanyikan lagu tentang jaring yang penuh ikan mangaritsy. Fitiavana, putri penenun, berbisik tentang benang yang terjalin seperti akar baobab. Suara mereka tak sempurna, tapi jujur, seperti desau angin yang mengisi celah retak Renala.

Hari ke-7, hujan turun. Bukan hujan biasa, tapi gerimis lembut yang berlama-lama, membasahi tanah merah hingga berubah menjadi lumpur harapan. Saat Zafy datang ke Renala, ia melihat sesuatu yang membuatnya menangis: di celah retakan batang, tunas hijau muda tumbuh, menggenggam tetes hujan seperti berlian. Di bawahnya, Nenek tersenyum, tangannya memegang kendi tanah berisi toaka gasy dan beras merah, sesajen untuk razana.

“Kau berhasil, zafy,” bisiknya. “Kau mengingatkan Renala bahwa kami masih di sini.”

Tahun berikutnya, Avenue of the Baobabs kembali menjadi jantung Morondava. Nelayan kembali melaut dengan sesajen di jaring; petani menanam padi sambil bernyanyi. Renala, yang kini retakannya tertutup kulit pohon baru, menjadi tempat anak-anak mendengar cerita leluhur. Dan di bawahnya, Zafy (kini remaja) mengajarkan pada adik-adiknya cara mendengar bisikan baobab:

“Bukan dengan telinga, tapi dengan kaki yang menginjak tanah, tangan yang menyiram akar, dan hati yang tak pernah lupa.”

Suatu sore, seorang turis asing berhenti di Avenue, kameranya mengarah pada Renala. “Pohon ini begitu tua,” gumamnya. Zafy, yang sedang duduk di bawah bayangan pohon, tersenyum. “Ia tak pernah tua,” jawabnya. “Ia hanya menunggu kita mendengar.”

Angin berhembus, membawa daun kering berputar seperti tarian. Di Morondava, baobab bukan sekadar pohon. Ia adalah sejarah yang bernapas, dan selama ada yang mau mendengar bisikannya, akarnya akan terus menjaga tanah ini dari keruntuhan.