Guru Bukan Beban Negara

Posted on

Musyawarah Desa yang Mengangkat Isu Kesejahteraan Guru

Musyawarah Desa untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) biasanya fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi. Namun, kali ini forum tersebut terasa berbeda. Seorang tenaga pendidik menyampaikan kegelisahan terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai isu gaji guru yang dinilai menimbulkan kontroversi.

Dalam diskusi, ia menyampaikan kutipan video yang beredar di media sosial dengan kalimat provokatif “guru itu beban negara.” Meskipun kemudian dijelaskan bahwa video tersebut adalah potongan tidak utuh atau bahkan disinyalir sebagai deepfake, keresahan sudah muncul di tengah warga desa. Bagi mereka, isu ini bukan sekadar wacana dari para elit di Jakarta, melainkan sesuatu yang sangat nyata dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari.

Guru dan dosen adalah wajah pendidikan yang sering ditemui oleh warga desa. Jika negara meragukan kewajibannya untuk menggaji tenaga pendidik, maka yang paling dirugikan adalah anak-anak desa yang sedang berjuang meraih masa depan. Pendamping desa mencatat bahwa suara warga jelas menyatakan bahwa menggaji pendidik bukanlah beban, melainkan kewajiban konstitusional negara. Tanpa komitmen tersebut, kesenjangan pendidikan antara desa dan kota akan semakin melebar. Guru bukan hanya pekerja, tetapi juga pembangun peradaban desa.

Forum musyawarah kemudian berlanjut pada pembahasan dasar hukum. Seorang warga yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi swasta mengingatkan bahwa Pasal 31 UUD 1945 telah menjamin hak setiap warga negara memperoleh pendidikan. Pemerintah pun diwajibkan membiayai pendidikan tersebut, sehingga tanggung jawab ini tidak bisa ditawar atau dialihkan. Ia juga menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara jelas menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan penghasilan layak bagi pendidik. Mengabaikan amanat tersebut sama artinya dengan melanggar mandat hukum, sekaligus melemahkan semangat guru dan dosen dalam menjalankan peran pentingnya.

Sardiman dalam Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (2011) menekankan bahwa motivasi guru dalam mengajar erat kaitannya dengan kesejahteraan mereka. Guru yang hidup sejahtera lebih mampu berinovasi dan membangun pembelajaran yang bermutu bagi siswanya. Pendamping desa mencatat bahwa warga memahami bahwa penghargaan terhadap guru bukanlah belas kasihan, melainkan bagian dari kewajiban negara. Mengabaikan kesejahteraan guru berarti menutup akses generasi desa terhadap pendidikan yang adil dan berkualitas.

Dalam forum, seorang pemuda yang juga tokoh LSM bertanya dengan nada protes: “Kalau bukan negara, lalu siapa? Apakah nasib pendidikan akan diserahkan kepada pasar?” Pertanyaan ini menohok dan menggambarkan kekhawatiran terhadap arah kebijakan pendidikan. Michael Apple dalam Educating the “Right” Way (2006) menjelaskan bahwa komersialisasi pendidikan justru memperlebar ketimpangan. Pendidikan bermutu hanya akan dinikmati oleh kalangan mampu, sementara kelompok miskin—terutama di desa—akan makin tertinggal.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat bahwa angka partisipasi sekolah di desa masih lebih rendah dibandingkan kota. Jika tanggung jawab menggaji guru dialihkan dari negara, ketimpangan ini hanya akan semakin tajam. Desa berpotensi kehilangan kesempatan emas untuk maju. Hanushek dan Wößmann dalam The Role of Education Quality in Economic Growth (2007) menegaskan bahwa kualitas guru adalah penentu utama pertumbuhan ekonomi. Artinya, memperlakukan guru sebagai beban justru sama dengan melemahkan fondasi pembangunan bangsa itu sendiri.

Dari aula desa, suara warga menolak tegas gagasan bahwa pendidikan bisa dilepas ke mekanisme pasar. Guru dan dosen adalah pengabdi ilmu, bukan komoditas. Negara harus tetap menjadi penjamin utama keberlangsungan pendidikan nasional. Di akhir musyawarah, seorang tokoh agama menyimpulkan, “Menggaji guru bukanlah kemurahan hati negara, melainkan hak guru yang wajib dipenuhi.” Pernyataan sederhana ini mencerminkan pandangan yang agamis, jernih, dan membumi.

Linda Darling-Hammond dalam The Flat World and Education (2010) mencontohkan bagaimana negara-negara seperti Finlandia sukses membangun sistem pendidikan terbaik karena menempatkan guru pada posisi terhormat dan menjamin kesejahteraan mereka. Bukan infrastruktur mewah, melainkan kesejahteraan guru yang membuat kualitas pendidikan melesat. Catatan Kementerian Keuangan yang menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran pendidikan memang terserap untuk belanja pegawai, termasuk gaji guru. Fakta ini seharusnya tidak dilihat sebagai beban fiskal, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang yang memberi dampak luas.

Pendamping desa menutup catatan reflektifnya, jika negara mulai mempertanyakan kewajiban menggaji guru dan dosen, maka suara desa harus mengingatkan. Dari ruang kelas sederhana di pelosok desa, lahir generasi yang akan menentukan arah bangsa. Dan mereka tak boleh dikhianati.