Gelombang Panas Ekstrem Picu Kenaikan Harga Beras dan Makanan Laut di Jepang

Posted on

Gelombang Panas di Jepang Berdampak pada Pasokan dan Harga Pangan

Jepang sedang menghadapi tantangan berat akibat gelombang panas yang melanda negara tersebut. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak signifikan pada pasokan bahan pangan, terutama produk laut seperti bulu babi. Hal ini menyebabkan harga meningkat drastis, membuat beberapa hidangan menjadi lebih mahal dan sulit dijangkau oleh konsumen.

Di tengah musim panas terpanas dalam sejarah Jepang, penurunan tajam dalam tangkapan bulu babi di wilayah utara negara ini telah membuat hidangan lezat ini semakin langka. Di Pulau Rishiri, Hokkaido, restoran menawarkan semangkuk nasi berisi 100 gram bulu babi bafun dengan harga rekor antara 15.000 hingga 18.000 yen atau setara US$100 hingga US$120. Angka ini hampir dua kali lipat dari harga beberapa tahun lalu.

Kimiko Sato, pemilik restoran Sato Shokudo, mengungkapkan bahwa banyak pelanggan terkejut dengan harga yang sangat tinggi. “Sekelompok pelanggan akan berbagi satu mangkuk bulu babi saja, dan semua orang akan memesan ramen untuk diri mereka sendiri,” katanya.

Bulu babi, yang biasanya dianggap sebagai makanan mewah, kini menjadi barang yang sulit diakses karena harganya yang naik. Bahkan, acara khusus di banyak rumah tangga Jepang kini menghadapi masalah serius akibat kenaikan harga makanan. Pengeluaran rata-rata rumah tangga Jepang untuk makanan kini mencapai hampir 30%, angka tertinggi dalam 43 tahun.

Para pembuat kebijakan di Tokyo mulai mengkhawatirkan dampak kenaikan harga pangan. Mereka menyalahkan tekanan yen yang melemah terhadap biaya impor dan dampak perubahan iklim. Direktur Eksekutif Koperasi Perikanan Rishiri Tatsuaki Yamakami menjelaskan bahwa tangkapan bulu babi telah berkurang setengahnya dibandingkan tahun lalu. “Harga melonjak karena rendahnya hasil tangkapan, saya pikir kenaikan suhu laut adalah penyebabnya. Ini situasi yang mengkhawatirkan,” ujarnya.

Menurut Yamakami, harga tertinggi 10 kilogram bulu babi bafun Rishiri, yang tumbuh subur di perairan dingin, telah melonjak menjadi 90.000 yen, lebih dari dua kali lipat dari sekitar 40.000 yen dua tahun lalu.

Peneliti Senior Badan Penelitian dan Pendidikan Perikanan Jepang Shigeho Kakehi menyatakan bahwa suhu air di seluruh Jepang telah meningkat sekitar 5 derajat Celcius dalam beberapa tahun terakhir. Wilayah Tohoku di utara Tokyo bukan lagi daerah penghasil salmon utama, dan pergeseran arus laut hangat ke utara semakin memperparah kondisi ini.

Volume spesies air dingin populer seperti salmon, cumi-cumi, dan sauri telah menurun tajam selama 20 tahun terakhir, sementara harga per kilogramnya melonjak hampir lima kali lipat. Meskipun ikan dan makanan laut hanya menyumbang porsi kecil dari keranjang makanan, kontribusinya terhadap inflasi umum sekitar 0,1 poin persentase.

Kepala Ekonomi Pasar Jepang dan Perbatasan Moody’s Analytics Stefan Angrick menilai dampak ekonomi perubahan iklim tidak lagi sekadar teoretis. “Peristiwa cuaca ekstrem dan peningkatan suhu global rata-rata merupakan alasan mengapa kami memperkirakan inflasi akan secara struktural lebih tinggi di masa mendatang,” ujarnya.

Harga pangan di Jepang naik 7,6% pada bulan Juli dibandingkan periode yang sama tahun lalu, meningkat pesat dari 7,2% pada bulan Juni. Beras, yang juga terdampak cuaca hangat, tetap menjadi penyumbang utama inflasi pangan. Pangan segar, yang biasanya tidak dimasukkan Bank of Japan (BOJ) dalam pengukurannya karena volatilitasnya, naik 3,3% bulan lalu dari 1,6% pada bulan Juni.

Inflasi ikan dan makanan laut sedikit menurun baru-baru ini, menjadi 2,5% dari 3,9%. Perusahaan riset Teikoku Databank menyatakan gelombang panas Tokyo menghantam pengeluaran rumah tangga untuk makanan laut, yang terdampak oleh kenaikan harga karena kenaikan suhu mengurangi volume tangkapan.

Meskipun yen yang melemah, akibat kesenjangan suku bunga yang masih lebar antara Jepang dan negara-negara lain, merupakan pendorong utama inflasi pangan, perubahan iklim juga menjadi perhatian bank sentral. Anggota dewan BOJ Naoki Tamura mengatakan laju kenaikan harga pangan segar termasuk makanan laut, telah meningkat jauh lebih cepat daripada harga keseluruhan sejak awal 2022.

Direktur Konsultan Eurasia Group David Boling menuturkan inflasi Jepang tetap rendah dibandingkan dengan negara lain tetapi cukup membebani kantong masyarakat, terutama karena gaji belum naik. Pergeseran ini sulit terutama bagi lansia berpenghasilan tetap.

Jepang menargetkan peningkatan rasio swasembada pangan secara keseluruhan menjadi 69% berdasarkan nilai produksi pada tahun fiskal 2030, naik dari sekitar 60% saat ini. Target ini menurut Kakehi mungkin akan rumit akibat tekanan iklim. “Sekalipun kita berusaha keras dengan mengurangi emisi melalui energi terbarukan, suhu tetap akan naik sekitar 1–1,5 derajat Celsius pada tahun 2100. Kuantitas dan waktu penangkapan ikan pemijahan dan ikan yang baru lahir harus diatur,” ucapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *