Serangan Digital terhadap Aktivis Demokrasi di Jawa Barat
Seorang aktivis demokrasi, Neni Nur Hayati, mengalami serangan digital yang luar biasa setelah fotonya diunggah tanpa izin oleh akun Instagram @diskominfojabar. Unggahan tersebut dilakukan sepekan sebelumnya dan kini telah dihapus. Serangan ini menimbulkan ancaman penyiksaan, kekerasan gender berbasis online (KGBO), peretasan nomor WhatsApp, serta teror telepon dari nomor tidak dikenal melalui akun media sosial Neni.
Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, menyatakan bahwa pencatutan foto dalam unggahan Instagram instansi resmi Pemprov Jabar memberi ruang bagi warganet pro terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik atau trolling. Hal ini menunjukkan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah, terutama oleh Diskominfo dan Humas Jabar, lembaga yang seharusnya mendidik publik dalam hal digital.
Neni menyayangkan sikap kepala daerah yang antikritik. Ia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya melindungi warganya, bukan malah membungkam atau mengebiri kritikan. “Saya berharap kebebasan berpendapat, mendukung masyarakat untuk kritis itu bukan hanya wacana saja, tetapi bisa diimplementasikan dengan tindakan nyata bahwa saya adalah pemimpin yang tidak antikritik,” kata dia.
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), FX Ari Agung Prastowo, menyayangkan tindakan yang dilakukan institusi pemerintah Jabar yang seharusnya mengedukasi publik. Pemprov Jabar, lanjut Ari, malah terjebak kasus doxing dan tidak mampu membangun ruang publik virtual yang rasional dan komunikatif.
Bagaimana seharusnya kepala daerah merespons kritikan? Sebagai pengamat isu demokrasi, Neni menyebut kritikan warga terhadap pemimpinnya adalah bagian dari demokrasi. Ketika mendapat kritikan, lanjut Neni, pemimpin seharusnya membangun dialog dan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya serta mau mendengarkan kritikan warganya.
Senada, pakar komunikasi publik Unpad, FX Ari Agung Prastowo, mengatakan kepala daerah seharusnya memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik. Kepala daerah, kata Ari, semestinya tidak alergi terhadap kritikan, tetapi justru menggunakan kritikan sebagai momentum untuk membangun atau menciptakan kebijakan yang lebih baik.
Selain itu, Ari menekankan pentingnya etika komunikasi politik di tengah situasi gegar budaya dalam penggunaan ruang virtual atau media sosial. Menurut Ari, semestinya ruang-ruang dialog yang tidak bisa tergantikan dengan ruang virtual, tetap dirawat.
Gaya komunikasi publik kepala daerah juga menjadi topik yang dibahas. Lewat akun media sosial, Dedi kerap menyebarkan aktivitas blusukan ke rumah warga dan aksi sosialnya. Dedi pun kerap kali “mendompleng” kasus-kasus yang viral. Namun, ia tidak jarang membuat swa-video untuk merespons kritikan atau mengumumkan kebijakan barunya—termasuk sejumlah kebijakan kontroversialnya.
Pakar komunikasi publik FX Ari Agung Prastowo, mengatakan terlepas dari kebijakan yang menuai pro kontra, Dedi mendapatkan dukungan langsung dari warga Jabar karena mampu menunjukkan keseriusan dan perhatiannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan di provinsi tersebut. Di sisi lain safari yang dilakukan KDM dapat membangun kedekatan emosional antara dirinya dengan warga Jabar. Hal inilah yang membuat KDM memiliki personal branding sebagai ‘Bapak Aing’.
Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, punya program bernama SADA Sumut (Sapa Daerah Sumatra Utara), yakni turun ke lapangan, menyapa, dan mendengar langsung kebutuhan serta aspirasi warganya. Ari menilai, gubernur muda ini memiliki gaya komunikasi yang cenderung formal, Bobby memilih bahasa baku, resmi dan terstruktur.
Di wilayah lain, gaya komunikasi Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan dikritik warganya lantaran dinilai terlalu mengandalkan media sosial atau komunikasi satu arah. Sedangkan wakilnya, Diky Chandra justru mendapat pujian karena turun ke lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat.
Kendati demikian, Ari mengatakan, sepanjang pengamatannya, konten-konten Wali Kota Tasikmalaya juga berisi aktivitas dalam berinteraksi secara langsung dengan warga. Perihal komunikasi publik, Ari mengingatkan, kepala daerah harus memperhatikan tidak hanya soal berbagi informasi, tapi mampu menunjukkan rasa empati kepada publik. “Kepala daerah harus betul-betul ikut merasakan apa yang menjadi persoalan publik,” kata Ari.
