Kebijakan Penghentian Impor Beras Filipina untuk Melindungi Petani Lokal
Pemerintah Filipina akan menghentikan impor beras selama 60 hari mulai 1 September 2025. Keputusan ini diambil sebagai langkah untuk melindungi petani lokal dari tekanan harga gabah yang menurun, terutama menjelang musim panen. Presiden Ferdinand Marcos Jr. memberikan instruksi langsung untuk tindakan ini setelah berkonsultasi dengan anggota Kabinetnya dalam pertemuan yang dilakukan selama kunjungan kenegaraan lima hari ke India.
Sekretaris Komunikasi Kepresidenan Dave Gomez menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan respons atas rekomendasi Menteri Pertanian Francisco Tui-Laurel Jr. yang menilai bahwa harga beras global yang anjlok menjadi ancaman bagi sektor pertanian negara tersebut. Harga beras dunia kini berada pada level terendah dalam delapan tahun terakhir, didorong oleh peningkatan hasil panen di beberapa negara produsen utama.
Meski inflasi pangan melandai akibat penurunan harga beras global, hal ini justru memicu protes dari kalangan petani. Di Thailand, salah satu eksportir beras terbesar dunia, para petani juga mengeluhkan turunnya harga gabah yang tidak sebanding dengan biaya produksi. Filipina sendiri kini menjadi importir beras terbesar di dunia, dengan volume pembelian meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Asisten Sekretaris Arnel de Mesa, Filipina diperkirakan akan membeli 5,4 juta ton beras pada musim 2025–2026. Dalam paruh pertama 2025 saja, negara ini telah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras. Hal ini memperkuat kekhawatiran tentang dominasi beras impor yang semakin mengancam keberlanjutan penggilingan padi nasional.
Menteri Pertanian Francisco Tui Laurel Jr. sebelumnya mengusulkan pembatasan kuota impor hingga kurang dari 20% dari volume saat ini. Ia menilai bahwa dominasi beras impor telah menyebabkan penurunan harga gabah yang sangat merugikan petani. Meskipun beras impor murah membantu menurunkan harga di pasar, efek sampingnya adalah kesulitan petani dalam menjual hasil panen dengan harga wajar.
Selain pembatasan kuota impor, Laurel juga menyarankan kenaikan tarif impor beras sebagai solusi untuk mengurangi arus masuk beras asing dan meningkatkan pendapatan negara. Ia menilai bahwa tarif 15% saat ini tidak lagi cukup efektif. Kenaikan bertahap ke 25% lalu ke 35% dinilai lebih bijak agar tidak menimbulkan gejolak dalam rantai pasok dan harga konsumen.
Namun, ia menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden Marcos. Pada Juli 2024, Presiden Marcos telah mengurangi tarif impor dari 35% menjadi 15% sebagai respons terhadap lonjakan harga global. Kebijakan ini, bersama dengan intervensi harga eceran tertinggi (HET), berhasil menstabilkan harga domestik. Tarif impor yang lebih rendah ini akan berlaku hingga 2028.
Namun, kebijakan ini juga memiliki konsekuensi. Ketika petani lokal kesulitan menjual hasil panen dengan harga wajar, kebutuhan untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap produsen dan akses masyarakat terhadap pangan murah semakin mendesak. Produksi padi nasional terus menunjukkan tren positif, dengan panen 9,08 juta ton tercatat pada semester pertama 2025. Pemerintah menargetkan total produksi mencapai rekor 20,46 juta ton hingga akhir tahun ini—sebuah pencapaian yang akan sia-sia jika petani tetap tidak memperoleh harga yang layak.


