Peningkatan Penjualan Mobil di GIIAS 2025 dan Tantangan Ekonomi yang Mengikuti
Pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah kendaraan yang terjual. Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil selama ajang ini meningkat sebesar 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak lebih dari 38.000 unit kendaraan berhasil terjual, meski nilai transaksi secara keseluruhan mengalami penurunan.
Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi, menjelaskan bahwa meskipun transaksi bukan tujuan utama dari GIIAS, hasil yang dicapai memberikan dorongan kuat bagi pertumbuhan industri otomotif di tahun ini. Namun, ia tidak menyebutkan angka pasti mengenai nilai transaksi yang berhasil dicapai.
Penurunan nilai transaksi tersebut dipengaruhi oleh hadirnya banyak model baru dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini menunjukkan pergeseran pola konsumsi masyarakat yang lebih memilih kendaraan dengan harga kompetitif tanpa mengorbankan kualitas.
Perubahan Pola Konsumsi dan Pengaruhnya pada Ekonomi
Menurut Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset Prasasti, fenomena ini mencerminkan realitas ekonomi yang berubah. Meski volume penjualan naik, nilai transaksi turun karena masyarakat lebih memilih kendaraan dengan harga terjangkau namun tetap berkualitas. Ia mencontohkan, banyak orang membeli mobil seperti Denza dan Xpeng untuk merasakan pengalaman serupa dengan Alphard, atau BYD Sealion untuk SUV mewah.
Piter menekankan bahwa perubahan ini menjadi contoh penting dalam memahami dinamika ekonomi dan daya beli masyarakat. Dari sudut pandang ekonomi, keberadaan mobil-mobil murah tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus menghabiskan dana besar.
Perubahan Investasi Masyarakat
Selain itu, Piter juga menyoroti perubahan pola investasi masyarakat. Banyak orang kini lebih memilih instrumen investasi seperti emas, reksadana, obligasi, saham, bahkan kripto daripada menyimpan uang dalam tabungan atau deposito. Fenomena ini terlihat jelas dalam antrean panjang di butik Antam untuk membeli emas yang harganya sedang melonjak.
Selain emas, Obligasi Negara Ritel (ORI) juga menjadi pilihan favorit bagi kelas menengah dan Gen Z. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya diversifikasi investasi dan manajemen keuangan yang lebih efektif.
Perspektif Ekonomi yang Perlu Diperluas
Piter menegaskan bahwa data ekonomi tidak hanya terbatas pada angka penjualan mobil atau properti. Ada banyak indikator lain yang perlu diperhitungkan, termasuk data DPK ritel dan pertumbuhan investasi. Ia menyarankan agar perspektif ekonomi diperluas agar tidak terjebak pada pendekatan yang terlalu sempit.
Menurutnya, data ekonomi yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) perlu didiskusikan bersama para pemangku kepentingan agar semua pihak dapat memahami realitas ekonomi secara lebih akurat. Inisiatif BPS mengundang stakeholders untuk mendiskusikan data statistik merupakan langkah positif yang perlu dilestarikan.
Kritik Terhadap Data Pertumbuhan Ekonomi
Meski BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% year on year (yoy) pada kuartal II 2025, hal ini mendapat respons kritis dari masyarakat. Banyak pihak meragukan validitas data tersebut, terutama karena perbedaan dengan indikator independen seperti Purchasing Manager’s Index (PMI) dari S&P Global.
Ema Kurnia Aminnisa dari The Prakarsa menyoroti bahwa PMI manufaktur Indonesia masih berada di bawah 50 selama empat bulan berturut-turut sejak April 2025. Hal ini menunjukkan penurunan kinerja manufaktur yang bertolak belakang dengan klaim pertumbuhan ekonomi yang diberikan oleh BPS.
Selain itu, Bintang Aulia Lutfi dari The Prakarsa menilai perhitungan pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu dievaluasi kembali. Angka pertumbuhan kredit konsumsi yang hanya mencapai 3,12% dan penurunan Indeks Kepercayaan Konsumen sebesar 5,3 poin menunjukkan ketidaksejajaran antara data BPS dan realitas ekonomi.
Tantangan di Sektor Tenaga Kerja
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 42.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Juni 2025. Banyak dari mereka beralih ke sektor informal yang memiliki produktivitas rendah, namun tetap dikategorikan sebagai bekerja oleh indikator BPS.
The Prakarsa menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekadar angka, melainkan gabungan dari berbagai variabel yang harus dijelaskan secara terbuka. Transparansi dalam pemaparan data sangat penting agar publik dapat membandingkan data pemerintah dengan indikator independen. Oleh karena itu, The Prakarsa mendorong agar pertumbuhan ekonomi dijelaskan secara lebih rinci, terutama terkait kontribusi konsumsi, investasi, serta ekspor-impor.
