Menurut Sonja Lyubomirsky, penulis buku The How of Happiness, ciri orang bahagia itu rajin bersyukur, memaafkan, menjaga relasi, menikmati momen kecil, aktif secara fisik dan sosial. Sepertinya sederhana, dan ciri-ciri tersebut malah sudah biasa ditanamkan sebagai kebiasaan masyarakat Indonesia.
Biasanya kebahagiaan identik dengan kesejahteraan, lantas dengan ciri orang bahagia menurut Sonja Lyubomirsky, dapatkah masyarakat Indonesia betul-betul bahagia dan sejahtera? Padahal kenyataannya tuntutan biaya hidup saat ini bisa dibilang semakin meningkat. Bisa jadi isi dompet masyarakat sedang meringis, lebih besar pengeluaran ketimbang pendapatan, alias defisit!
Ternyata yang sedang defisit keuangan bukan cuma masyarakat, anggaran negara juga tekor. Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, dari jauh hari sudah memprediksi bakal mengalami defisit Rp662 triliun. Sebuah rekor defisit terbesar sepanjang sejarah.
APBN dan Defisitnya
Sederhananya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah Indonesia yang berisi daftar terperinci mengenai perkiraan penerimaan dan pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran.
Jadi kondisinya, APBN akan surplus jika penerimaan negara lebih besar dari pengeluaran. Sebaliknya menjadi defisit atau minus dampak besarnya pengeluaran ketimbang pendapatan, gambaran realisasi defisit APBN tahun 2024 mencapai Rp507 triliun dengan rasio 2,29% dari PDB, termasuk terkendali.
Seperti sudah disinggung Menkeu, tahun 2025 jumlah defisitnya akan naik, target awal adalah Rp616 triliun, ternyata setelah berjalan malah bertambah jadi Rp662 triliun. Kondisi defisit ini diklaim masih aman terkendali, bahkan dengan narasi ketahanan fiskal terjaga, rasionya setara 2,78% dari PDB, sementara batas maksimal defisit Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu maksimal 3%.
Penyebab Defisit APBN
Teorinya defisit terjadi karena pendapatan negara lebih kecil dari pengeluaran, pembahasan ini menarik sekaligus mencemaskan, lantas pendapatan utama negara berasal dari pajak, pendapatan negara bukan pajak dan hibah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga Mei 2025 mencapai Rp895 triliun, sementara realisasi pajak neto tercatat sebesar Rp683 triliun atau 31,2% dari target tahun ini, nampaknya masih cukup baik walaupun di awal tahun 2025 penerimaan pajak sempat mengalami penurunan.
Tapi dibalik data tersebut, sesungguhnya tingkat penerimaan pajak Indonesia dianggap belum maksimal, rasio pajak Indonesia hanya 10% dari PDB sementara rata-rata ASEAN adalah 15%. Mengapa demikian? Alasannya banyak pelaku ekonomi yang belum terjangkau sistem pajak, terutama di sektor digital, informal dan UMKM, bisa diartikan pekerja informal dan pelaku UMKM sangat tinggi di struktur ekonomi nasional.
Kepatuhan wajib pajak juga rendah, karena di kalangan masyarakat penghasilan tinggi atau korporasi dinilai belum melaporkan pajaknya dengan benar dan ada dugaan upaya menghidari kewajiban membayar pajak. Walaupun sikap budaya cuek pajak ini justru timbul akibat ada oknum yang mempermainkan anggaran negara demi keuntungan pribadi alias ada praktik korupsi.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak yang mengandalkan kinerja BUMN, setoran dividen ke kas negara kerap keteteran lantaran masih ada BUMN rugi, sepanjang tahun 2024 tercatat 7 BUMN mencatat kerugian. Pos lain dari royalti perdagangan komoditas rawan terkoreksi harga pasar yang naik turun.
Menengok pos belanja negara, gambaran umumnya adalah program andalan pemerintah yaitu anggaran biaya Makan Bergizi Gratis naik tajam dari Rp71 triliun melesat hingga Rp116 triliun. Kemudian ada anggaran biaya rutin lain yang menyangkut kebutuhan dasar seperti biaya subsidi energi (Rp394 triliun), biaya gaji pegawai (Rp513 triliun), biaya program sosial (Rp504 triliun), serta beban bunga utang (Rp552 triliun).
Besarnya biaya pengeluaran rutin tersebut jelas mempersempit ruang fiskal untuk keperluan produktif, jika ada pendapat kondisi APBN Indonesia tergolong rawan, alasan itu dapat didasarkan pada penerimaan bergantung pada sektor komoditas yang harganya naik turun, serta besarnya biaya non-produktif dan utang, walaupun diklaim stabilitas fiskal senantiasa terjaga.
Defisit Terkendali atau Bergantung Utang
Rasio defisit 2,78% terkesan kecil, tapi betulkah aman? Karena jika dilihat nilai beban bunga utang Rp552 triliun jumlahnya sangat besar dan justru naik 10% dari tahun 2024. Utang menjadi salah satu opsi strategi menambal defisit APBN, pemerintah menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp216 triliun meningkat signifikan (219%) dibandingkan tahun sebelumnya.
Di APBN 2025 juga tercantum ada 30% penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bertujuan pembiayaan utang lama, gampangnya utang baru untuk melunasi utang sebelumnya. Hal yang perlu dicermati selain jumlahnya makin besar, likuiditas APBN makin sempit karena saat jatuh tempo beban arus kas keluar juga besar, mempengaruhi kekuatan fiskal negara.
Pada April 2025, rasio utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan sekitar 38%, masih jauh di bawah batas aman 60% yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara, namun jumlahnya yang semakin besar harus diwaspadai agar suatu saat tidak meledak laksana bom waktu.
Utang jika digunakan untuk tujuan produktif seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan atau kesehatan, selama dikelola dengan baik akan berdampak positif karena meningkatkan aset negara, membuka lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Bagaimana pun situasi APBN saat ini patut disikapi dengan hati-hati, berpotensi seperti layaknya tambal sulam, menambah utang untuk bayar utang, bunga tinggi, tidak berujung justru defisit semakin dalam.
Faktor eksternal, adanya ketegangan geopolitik, perang tarif akan sangat berpengaruh karena struktur utang luar negeri dan biaya belanja impor Indonesia cukup tinggi. Dinamika nilai US$ sangat mempengaruhi tekanan fiskal. Selain bunga utang, beban subsidi bakal melonjak karena kebutuhan pembayaran dengan US$.
Strategi Mengatasi Defisit APBN
Dilematis, karena memilih alih subsidi energi menjadi sektor produktif, bukan cara populer karena akan langsung membebani masyarakat, singkatnya biaya hidup tambah mahal, sementara penghasilan belum tentu mengimbangi.
Optimalkan pendapatan pajak dengan menggenjot basis pajak dan sektor digital, pajak progresif juga bisa menjadi pilihan, masyarakat kaya dan korporasi yang berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak lebih besar, hanya saja jika sembarangan apalagi penerimaan pajak bocor serta adanya permainan kolusi dan korupsi bisa mendorong eksodus arus modal dari golongan ini ke luar negeri.
Atau efisiensi, misalnya mengurangi biaya seremoni, penghematan tunjangan pejabat, serta prioritas program kerja penting didahulukan, hal ini tidak akan serta merta disambut baik, karena sensitif. Dibutuhkan kerelaan dan sifat dermawan dari para pejabat agar bisa berkorban materi demi negara.
Melibatkan pihak swasta dalam proyek besar, cara ini layak dipertimbangkan, menggandeng swasta dalam dan luar negeri melalui tawaran skema menguntungkan kedua belah pihak. Belakangan menggunakan Sisa Anggaran Lebih sebesar Rp85 triliun sebagai cadangan fiskal menutup defisit nampaknya menjadi pilihan yang akan ditempuh.
Menurut Kemenkeu realisasi defisit APBN Semester I 2025 adalah 0,84% dari PDB diartikan strategi berjalan relatif efisien dan pemerintah tidak langsung agresif utang, tapi bertahap sesuai kebutuhan, optimis, memproyeksikan penerimaan akan membaik pada semester II, sehingga defisit bisa terkendali di level 2,53%–2,78% PDB akhir tahun.
***
Argentina, negara yang sempat dirundung resesi, berhasil mencapai surplus 0,3%, pertama sejak 14 tahun. Menghadapi situasi sulit, Argentina mengambil langkah berani dengan memotong anggaran belanja publik termasuk pemangkasan jumlah aparatur negara.
Indonesia juga di tahun 2023 pernah mengalami surplus primer, malah di April 2025 APBN kita sempat surplus Rp4,3 triliun, walaupun bulan berikutnya defisit lagi. Artinya adalah, Indonesia jika mau bisa saja membenahi perekonomian. Jika hasilnya baik, tetap harus diapresiasi, semoga lebih baik.
