BOGOR – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membicarakan tentang bencana hidrometeorologi di Kabupaten dan Kota Bogor.
Dedi berpendapat, peristiwa ini tidak terlepas karena dampak dari pembangunan tempat wisata oleh perusahaan Jaswita.
Informasi ini diterima dari Bupati Bogor oleh Dedi. Mereka berteriak tentang banjir yang terjadi di wilayah Puncak, salah satunya penyebabnya adalah Jaswita.
“Oh iya, saya ngomong aja terus terang aja di situ kan ada Jaswita, Jaswita itu membangun sarana rekreasi di Puncak berdasarkan keterangan dari Bupati Bogor tadi ada salah satu, ya namanya kubahnya atau apa, kemudian terjatuh ke sungai,” kata Dedi, Selasa (4/3/2025).
Dari kejadian itu, akhirnya terjadi penyumbatan air dan kemudian terjadi banjir. Ia memastikan, hal ini hanya berdasarkan pengakuan Bupati Bogor yang disampaikan secara langsung melalui telepon. Hal ini akan menjadi perhatian serius.
“Ketika sedang berbicara dengan saya melalui telepon, ini yang harus segera dilihat dan diperbaiki, karena besok Kamis saya bersama Menteri Lingkungan Hidup akan melakukan inspeksi dan kemudian mengambil keputusan-keputusan penting,” jelasnya.
Sebagai gubernur, Dedi memastikan tidak akan membeda-bedakan dalam menegakan peraturan, termasuk perusahaan milik daerah yang dinilai bertentangan dan berpotensi merugikan banyak orang maka akan dilakukan evaluasi secara menyeluruh.
“Jika saya sebagai gubernur dan daerah itu ternyata mengurangi kemampuan penyerapan air dan menyebabkan bencana, tidak ada masalah untuk dievaluasi,” ucapnya.
“Termasuk swasta-swasta juga harus berani mengevaluasi mana yang lebih penting, keselamatan masyarakat atau hanya kepuasan beberapa orang, keselamatan masyarakat lebih utama dari pada apapun,” kata dia.
Ia menambahkan, nantinya akan turut melakukan evaluasi beberapa objek wisata alam yang ada di Jawa Barat.
Menurutnya, hal ini harus dilakukan agar lebih teratur dan tidak menimbulkan kerugian di masyarakat secara luas, termasuk di area yang bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara.
Ia mengatakan merasa aneh dengan PTPN, di mana perusahaan pelat merah ini banyak melakukan realokasi tanah dari area perkebunan menjadi bangunan. Menurutnya, jika terus seperti ini, mungkin lebih baik jika diganti menjadi PT Pariwisata.
Disinggung soal nantinya apakah kemungkinan akan ada penghapusan izin dari perusahaan pariwisata yang mengelola lahan PTPN ini, Dedi menyerahkan hal ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup.
“Izinnya bisa (dicabut), tergantung rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup ya,” katanya.