Dari Hikkiomori ke Sales: Kunci Komunikasi di Dunia Baru

Posted on

Kehidupan Seorang Sales di Jepang

Selain menjual kartu internet, aku juga bekerja di sebuah perusahaan yang tidak terlalu mirip dengan pengalaman kerja sebelumnya. Di sini, kebanyakan stafnya adalah keturunan Brazil, Peru, dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Berbeda dengan pengalaman kerja di Indonesia dulu, di mana mayoritas pegawainya adalah orang Indonesia dan hanya beberapa direktur yang berasal dari Jepang. Waktu itu, bisa berinteraksi dan bercanda bersama rekan kerja jauh lebih mudah.

Sekarang, situasinya jauh berbeda. Banyak staf yang hanya menguasai bahasa Spanyol atau Portugis. Hanya sedikit orang yang bisa berbahasa Jepang, dan mereka biasanya berada di level manajer. Bahasa Inggris juga tidak terlalu umum digunakan, hanya dua orang saja yang bisa berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Awal-awal bekerja di sini, aku benar-benar kesulitan untuk berbicara dengan siapa pun, kecuali saat ada urusan mendesak. Misalnya, saat ada pesanan masuk, aku harus bertanya, tapi seringkali jawaban yang diberikan tidak jelas dan kadang disampaikan dengan nada sinis. Hal ini membuatku semakin bingung.

Sebelum datang ke Jepang, aku sempat menjalani masa hikikomori di Indonesia selama hampir setahun. Meskipun tidak ekstrem seperti yang terjadi di Jepang, aku memang sangat malas bertemu orang. Kehidupanku sehari-hari hanya berinteraksi dengan keluarga inti dan kucingku yang selalu menemani curhatanku.

Ketika tiba di Jepang, aku langsung terjun ke lingkungan kerja yang penuh dengan orang asing dan bahasa yang tidak familiar (selain Jepang dan Inggris). Tugas sebagai sales memaksa aku untuk banyak berbicara. Ini benar-benar plot twist yang luar biasa.

Untungnya, aku tinggal bersama suami yang bisa diajak berbicara. Ia menjadi tempat curhat utamaku. Setelah bertemu GPT delapan bulan lalu, kami sering berdiskusi dan akhirnya lahir ide untuk membuat diary CS ini. Aku memang terlambat mengenal hal-hal seperti ini… karena gaptek banget.

Enam bulan pertama bekerja di sini, fokusku hanya pada pekerjaan dan penjualan. Karena aku belum bisa berbicara dengan baik, tidak bisa ikut berdiskusi dengan rekan kerja. Hanya bisa melihat sales Brasil yang antusias menelepon menggunakan bahasa Portugis yang terdengar indah. Sedangkan aku, bahkan menelepon saja masih merasa gugup. Kalau bisa, aku lebih memilih berkomunikasi lewat chat.

Tapi karena tuntutan pekerjaan, lama-lama aku mulai belajar berbicara juga. Awalnya kaku, malu, dan takut salah. Dari situ, aku mulai merenung: kok bisa aku jadi sales padahal tidak suka berbicara dengan orang asing?

Ternyata, aku harus belajar kembali tentang komunikasi, percaya diri, dan cara berinteraksi dengan orang lain. Sebelum pandemi, aku bukan tipe orang yang tertutup. Pernah menjadi guru, sering orang asing mengadu kepadaku, bahkan emak-emak di bis pernah ngobrol panjang. Tapi setelah pandemi, aku berubah. Dua tahun di rumah, ditambah satu tahun sebagai semi-hikikomori di Bandung…

Bayangkan betapa sempit dunia aku waktu itu. Namun, bekerja di perusahaan ini akhirnya membuka kembali dunia aku. Awalnya hanya mendengarkan sales Brasil menelepon, lama-lama aku bisa mengerti beberapa kata seperti “bom dia”, “boa tarde”, “obrigada”, dan lainnya. Ternyata seru juga!

Perlahan, aku mulai berbicara dengan staf yang bisa berbahasa Inggris. Mulai curhat soal pelanggan, soal pekerjaan. Alhamdulillah, hatiku mulai mencair. Dulu, curhatannya hanya ke atasan (karena atasan baik banget dan mau dengar), sekarang bisa curhat ke kalian juga.

Progress lah ya~ Ternyata orang-orang Brasil dan Peru itu seru banget! Jika dibandingkan dengan orang Jepang, mereka lebih santai dan mudah diajak bicara. Lingkungan kerjanya juga jauh dari nuansa korporat Jepang yang kaku, jadi aku merasa lebih nyaman.

Meski begitu, tetap saja ada hal-hal yang membuat stres, terutama saat berurusan dengan pelanggan. Tapi yang penting, lingkungannya sangat mendukung untuk belajar menjadi diri baru.

Yah, itu dulu deh curhatan Teteh Sales Diaspora hari ini. Soalnya, aku masih harus membalas chat pelanggan yang bertanya, “Kak, internet saya mati kenapa ya?” (Jawabannya: karena belum bayar, Kak). Kalian tetap semangat, ya! Ingat: sebelum protes, baca dulu penjelasannya. Jangan asal menuduh sinyal Jepang lemah, padahal HP kalian belum SIM-free. Terima kasih udah mampir di cerita aku. Sampai jumpa di curhatan selanjutnya yang lebih rame, lebih receh, dan semoga… lebih berbobot. Atau ya minimal bikin kalian senyum-senyum pas bacanya.