Regulasi Kripto di Amerika Serikat dan Persaingan Global
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah secara resmi menandatangani undang-undang GENIUS Act pada 18 Juli. Undang-undang ini menjadi regulasi kripto yang paling besar sekaligus pertama berlaku di negara tersebut, dengan fokus utama pada pengaturan penggunaan stablecoin yang terkait langsung dengan dolar AS. Stablecoin sendiri merupakan jenis mata uang kripto yang nilainya stabil karena terikat pada mata uang fiat atau komoditas, berbeda dengan kripto volatil seperti Bitcoin. Dengan kebijakan ini, Trump berharap penggunaan stablecoin berbasis dolar dapat mendorong adopsi global sekaligus memperkuat dominasi mata uang AS dalam perdagangan internasional.
Data dari Financial Times menunjukkan bahwa pangsa dolar dalam pembayaran perdagangan global turun dari sekitar 80 persen pada 2010 menjadi 40 persen pada 2024. Sebaliknya, pembayaran menggunakan yuan China atau renminbi (RMB) meningkat dari hampir nol menjadi 55 persen pada periode yang sama. Sebagai pesaing utama Amerika Serikat di sektor perdagangan global, China dikabarkan berencana meluncurkan stablecoin berbasis yuan sebagai upaya memperkuat pengaruh mata uangnya di kancah internasional.
China Siapkan Stablecoin Berbasis Yuan
Pada 6 Agustus 2024, rencana ini diungkap oleh Financial Times. Meskipun pemerintah pusat masih memberlakukan larangan penuh terhadap perdagangan kripto di daratan utama, Hong Kong dipilih sebagai lokasi uji coba berkat statusnya sebagai pusat keuangan internasional dengan regulasi yang lebih terbuka. Wilayah tersebut baru-baru ini mengesahkan undang-undang yang mengizinkan penerbit berlisensi meluncurkan stablecoin berbasis mata uang fiat. Kebijakan ini diharapkan menarik investor global, sekaligus menjadi batu loncatan bagi China dalam adopsi teknologi keuangan baru. Namun, otoritas setempat menegaskan hanya akan memberikan “segelintir” lisensi mulai 2026 demi menjaga stabilitas dan mencegah penyalahgunaan teknologi tersebut.
Pengaruh Stablecoin Terhadap Dolar AS
Meski kerap dipandang sebagai token kripto biasa, stablecoin memiliki peran strategis dalam membentuk pengaruh moneter global. Keberadaannya tidak hanya memfasilitasi transaksi digital lintas negara, tetapi juga memengaruhi arus modal internasional. Sebagai contoh, penerbit stablecoin Tether menahan cadangan aset dalam bentuk obligasi AS senilai lebih dari 127 miliar dolar per 30 Juni 2024. Angka tersebut menjadikan Tether salah satu pemegang surat utang pemerintah AS terbesar di dunia, di luar institusi keuangan resmi. Permintaan yang dihasilkan dari penerbitan stablecoin ini mengalir langsung ke pasar keuangan AS, memperkuat likuiditas dan mendukung nilai dolar. Inilah alasan mengapa Washington melihat regulasi seperti GENIUS Act bukan sekadar aturan teknis, melainkan bagian dari strategi geopolitik untuk mempertahankan dominasi mata uangnya di tengah meningkatnya kompetisi global, khususnya dari China.
Tantangan China dan Persaingan di Hong Kong
China menghadapi dilema besar: memanfaatkan teknologi kripto tanpa kehilangan kendali atas sistem keuangan domestik. CEO perusahaan blockchain Saga, Rebecca Liao, menegaskan teknologi ini sulit dikendalikan secara terpusat dan berpotensi digunakan di luar tujuan pemerintah. Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA) juga memperingatkan risiko penyalahgunaan stablecoin untuk pencucian uang. Untuk tahap awal, lisensi hanya akan diberikan kepada satu dari empat bank milik negara terbesar China. Di sektor swasta, perusahaan e-commerce JD.com tengah menguji stablecoin berbasis dolar Hong Kong, sementara Ant Group—afiliasi Alibaba—membidik lisensi di Hong Kong dan Singapura. Meski begitu, langkah China dalam persaingan stablecoin masih tertinggal dan butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat efektivitas strategi dedolarisasi mereka.
Dengan peta persaingan yang semakin ketat, masa depan stablecoin akan menjadi salah satu medan perebutan pengaruh ekonomi global, di mana setiap langkah kebijakan bisa menentukan siapa yang akan memimpin arus keuangan dunia.


