Pokoknya kamu harus masuk sekolah kedinasan supaya kamu menjadi PNS dan masa depanmu terjamin! vs “Aku mau jurusan desain grafis, itu hobi ku!”
Percakapan seperti itu sering kali menjadi tema diskusi antara orangtua dan anak ketika memilih fakultas study. Di satu sisi, orangtua ingin sesuatu yang dianggap paling baik berdasarkan pengetahuan mereka dan pertimbangan praktis, namun di sisi lain, anak juga ingin mengejar keinginannya. Lalu, bagaimana cara menyusun dua sudut pandang ini yang hampir saling berlawanan?
Memahami Pandangan Orangtua dan Anak: Dua Sisi Mata Uang
Sebagai orangtua, setidaknya ada 3 hal yang biasanya mengganggu pikiran mereka, yaitu masalah keuangan, pengalaman hidup, dan harapan sosial.
Mungkin Anda berkeinginan untuk kuliah di luar kota, mencoba mẫrantau, menimba ilmu di kampus idaman di kota tujuan sambil mendapatkan pengalaman baru.
Tentu saja, pilihan tersebut memiliki konsekuensi finansial yang perlu dipertimbangkan.
Orangtua akan menghitung terlebih dahulu, apakah pilihan itu tepat dan bisa terwujud atau tidak
Karena pilihan tersebut ada, justru ada katakanlah yang mengorbankan hal.
Persoalan berikutnya adalah mengenai pengalaman hidup, biasanya mereka berbicara berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Mereka menyadari betapa beratnya dunia kerja, sehingga ingin meminimalkan kesulitan yang akan dihadapi anak mereka di masa depan ketika telah melanjutkan karir.
Selanjutnya adalah Ekspektasi sosial. Tak jarang, tekanan dari keluarga besar atau reputasi membuat orangtua “memaksakan” pilihan tertentu.
Pantesnya kalian harus mengikuti pendidikan di jurusan A, agar kalian bisa terus mewarisi warisan keluarga kita.
Di sisi lain, anak-anak juga mengalami kesulitan dalam memilih bidang yang diminati, karena mereka mungkin melakukan pilihan yang salah mengenai tabiat mereka di masa depan.
Berapa banyak mahasiswa yang menjerit “salah jurusan” pada saat kuliah sedang berlangsung.
Saking bersemangatnya,.setFocus tidak memperhitungkan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Kaca mata keilmuan yang berubah, anak juga ingin dikenali secara individual dan dibimbing untuk membuat keputusan sendiri.
Dan yang terakhir adalah beban ekspektasi, mereka akan berpikir “Bagaimana jika aku tidak sanggup menapaki jalur yang dipilih oleh orang tua?”
Jadi, orang tua itu bukan komandan, melainkan pengemudi. Sementara itu, anak juga bukan pemberontak, melainkan penjelajah potensi.
Komunikasi Efektif: Bukan Hanya Mengomunikasi, Tapi Tertib Mendengarkan
Konflik sering muncul karena dua pihak merasa tidak dipahami mereka.
Sebagai orangtua, sebaiknya hindari kalimat “Dulu saya juga…” atau “Kalian harus…”.
Apa alasanmu memilih jurusan ini? atau Apa yang bisa kita kompromikan?
Jangan bersikap defensif sebagai seorang anak. Coba pahami kekhawatiran orangtua dengan bertanya, “Kenapa Ayah/Ibu lebih suka jurusan itu?”.
Ketimbang berdebat, lebih baik berdiskusi mengenai kriteria program studi atau jurusan yang ideal menurut masing-masing orang. Diskusikan juga prospek karir, minat dan biaya sehingga anak dan orang tua sama-sama memahami dan menentukan solusi yang menguntungkan bersama.
Mencari Titik Temu
Kompromi itu tidak akan mengorbankan keinginan salah satu pihak secara serta merta!
Ketimbang sibuk berdebat, lebih baik kalian mempersiapkan diri untuk memenuhi segala kebutuhan untuk mencapai program studi yang ingin kalian dapatkan.
Misalnya, kalian mencari informasi lengkap tentang jurusan yang kalian pilih, mulai dari status akreditasinya, prestasi mahasiswanya, informasi tentang biayanya dan juga perspektif karir.
Jika orang tua khawatir dengan biaya, kalian juga bisa mencari beasiswa di jurusan yang mereka tekankan.
Selain itu, kamu juga bisa mengambil gap year satu tahun untuk memperkuat keyakinan tentang jurusan atau program studi yang kamu ingin pilih.
Contohnya, Anda bisa mengambil waktu satu tahun untuk magang atau mengikuti pelatihan di bidang yang relevan.
Itu bisa dijadikan bukti untuk meyakinkan orang tua bahwa pilihanmu itu tepat.
Melibatkan Pihak Ketiga
Jika diskusi antara kamu dengan ayah bundamu impas, tidak bisa dimenangkan, kamu juga bisa melibatkan pihak lainnya, contohnya guru bimbingan konseling (BK). Mereka dapat membantu mengenali potensi kamu melalui tes minat-bakat.
Selanjutnya menyampaikan cerita dari lulusan atau profesional di bidang tersebut, sehingga bisa memperluas wawasan orang tua.
Mungkin setelah mendengarkan pendapat dari pihak ketiga, orangtua akan mendapatkan wawasan yang baru tentang program studi yang hendak kalian pilih.
Kolaborasi dan Bukan Kompetisi
Memilih jurusan kuliah seperti mendayung perahu: orangtua dan anak harus menuju arah yang sama agar tidak dapat tertimbun. Dengan komunikasi yang terbuka, kompromi yang kreatif, dan kemauan untuk saling memahami, konflik dapat diubah menjadi kekuatan.
Seperti pepatah berkata, “Bersatu kita tegak, bercerai kita runtuh.” Tempat mengejar masa depan anak bukanlah medan perusahaan, tapi hasil dari kerja sama yang cerdas antara dua generasi.