Buku tentang Pemberdayaan Ekonomi Pemuda yang Menginspirasi
Buku karya jurnalis dan penulis muda Adhim Mugni Mubaroq, berjudul Pemberdayaan Ekonomi Pemuda: Menggapai Potensi Tanpa Batas, menjadi salah satu karya reflektif paling kuat yang akan dilaunching tahun 2025 ini. Buku ini mengungkap rahasia peran pemuda sebagai motor pembangunan nasional, dengan fokus utama pada transformasi sosial yang lahir dari Papua Youth Creative Hub (PYCH) di Jayapura dan AMANAH Youth Creative Hub di Aceh.
Buku ini hasil observasi di Papua dan sebagai kecil di Aceh. Karya lebih dari 150 halaman ini menggambarkan perjalanan gerakan Papua Muda Inspiratif (PMI) yang berkembang menjadi Papua Youth Creative Hub (PYCH) di Jayapura, serta replikasinya di Aceh lewat Aneuk Muda Aceh Unggul Hebat (AMANAH) Youth Creative Hub.
Buku ini mendokumentasikan perjalanan luar biasa anak-anak muda yang berhasil mengubah keterbatasan menjadi kekuatan, di bawah dukungan strategis Pemerintah Pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. Inpres ini kemudian diimplementasikan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dengan Kepala BIN saat itu Jenderal Polisi (Purn) Prof. Dr. Budi Gunawan, SH., M.Si., Ph.D. Program ini dikawal langsung oleh Made Kartikajaya, yang saat itu menjabat Deputi IV Bidang Ekonomi Intelijen BIN. Made yang juga Pembina PYCH disebut banyak pihak sebagai “arsitek lapangan” pembangunan berbasis pemberdayaan pemuda.
Presiden RI Prabowo Subianto sendiri memberikan perhatian lebih pada Papua, salah satunya atas penugasan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk percepatan pembangunan Papua. “Saya merasa momentum itu semakin mempertegas bahwa arah yang ditempuh oleh program-program ini tidak keliru. Ini bukan lagi simbolik. Ini strategis. Negara mulai menaruh perhatian serius pada masyarakat Papua itu sendiri, terutama generasi mudanya,” tulis Adhim.
Tak kurang dari sembilan tokoh nasional memberikan testimoni di buku ini, mulai dari Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin, Menpora Ario Bimo Nandito Ariotedjo, Wamen PUPR Ir. Diana Kusumastuti, M.T., Brigjen Pol Asep Guntur Rahayu (KPK), hingga Prof. Rhenald Kasali, Ph.D hingga anggota DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Ilham Pangestu dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menilai buku ini sebagai refleksi penting tentang arah baru pembangunan nasional yang menempatkan pemuda sebagai pusat perubahan menuju Indonesia Emas 2045.
Yang Dibutuhkan Papua (Belajar dari PYCH)
Dalam salah satu bagian reflektif, Adhim menulis dengan nada personal dan tajam: “Menulis tentang Papua adalah perjalanan batin bagi siapa pun yang sungguh-sungguh ingin memahami Indonesia. Papua mengajarkan bahwa membangun manusia jauh lebih sulit daripada membangun jalan, tapi juga jauh lebih bermakna.” Menurutnya, dari pengalaman menelusuri jejak Papua Youth Creative Hub (PYCH), ia menemukan satu kesimpulan sederhana namun mendalam: “Papua tidak butuh banyak konsep, Papua butuh pendamping yang hidup bersama mereka.”
Adhim menilai pendekatan pembangunan yang selama ini sering berhenti di tiga kata: strategi – anggaran – laporan. “Di Papua, rumus itu tidak cukup. Papua membutuhkan kehadiran manusia yang mau ikut bekerja, mendengar, dan berjalan bersama masyarakatnya,” tulisnya. Ia kemudian menyebut sosok Made Kartikajaya sebagai contoh nyata pemimpin yang tidak hanya menyusun konsep perencanaan, tapi juga hadir dan bekerja di lapangan bersama masyarakat Papua.
“Made bukan hanya bicara bagaimana membangun Papua, tapi menunjukkan bagaimana caranya benar-benar bersama masyarakat Papua di sana,” tulis Adhim. Bahkan Simon Tabuni, Ketua Umum PYCH, menyebut Made sebagai teladan dalam bersikap, berucap, dan bertindak. Simon menyebut, Made mampu menjembatani antara semangat negara dan kenyataan masyarakat Papua dengan cara sederhana yaitu hadir dan bekerja bersama dengan mereka.
Pendamping yang Mengubah Pola Pikir
Adhim menilai, keberhasilan PYCH bukan semata karena fasilitas yang lengkap, tetapi karena pendampingan yang berkarakter. “Made menanamkan budaya disiplin, kejujuran, dan kerja keras tanpa kehilangan rasa hormat terhadap kearifan lokal. Ia datang bukan membawa label ‘penolong’, tapi semangat ‘kita tumbuh bersama’,” tulisnya. Filosofi itu tercermin dalam cara Made memimpin: tidak kaku, tidak hierarkis, tetapi penuh dialog, keteladanan dan tegas.
Ia membiarkan anak muda Papua belajar mengambil keputusan sendiri, mencoba, gagal, lalu tumbuh. Pendekatan seperti ini melahirkan bukan ketergantungan, melainkan kemandirian. Kini anak-anak muda Papua mengelola usaha sendiri: kopi, produk digital, industri kreatif, teknologi, pertanian, peternakan, perkebunan hingga UMKM. Mereka bukan lagi peserta pelatihan, tapi pelaku ekonomi baru di tanah kelahirannya.
Dari pengalamannya selama observasi sekitar dua tahun lebih melakukan peliputan di Papua, Adhim menganalisis yang dibutuhkan Papua bukan sekadar infrastruktur, melainkan pendamping berjiwa fasilitator, orang yang tahu kapan memimpin, kapan mendengar, dan kapan ikut bekerja. “Butuh sosok-sosok seperti Made Kartikajaya. Orang yang tidak hanya bisa menjelaskan strategi, tapi juga mengimplementasikannya. Tidak hanya memahami konsep, tapi juga membumikan nilai-nilainya,” tulis Adhim.
Menurutnya, pembangunan sejati di Papua diukur bukan dari banyaknya proyek, tetapi dari banyaknya manusia yang bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri. “Pendekatan Made adalah bentuk pendampingan ideal untuk Indonesia masa depan. Ia tidak membangun menara gading, tetapi membangun jembatan antara kebijakan dan kehidupan di dalamnya,” tutur figur yang lebih dari tujuh tahun mengabdi di dunia jurnalistik tersebut.
Refleksi Pembangunan Berbasis Manusia
Melalui Menggapai Potensi Tanpa Batas, pengurus Korps Alumni HMI (KAHMI) Jawa Barat ini menegaskan, pembangunan sejati adalah tentang manusia, bukan hanya infrastruktur. Kisah sukses anak muda Papua dan Aceh dalam buku ini menjadi bukti bahwa ketika negara hadir dengan empati, bukan hanya instruksi, maka perubahan sosial bisa tumbuh dari akar yang paling dalam. Metode yang dipakai di PYCH maupun AMANAH Aceh dinilai bisa direalisasikan di seluruh daerah di Indonesia dengan konteks pembangunan wilayah masing-masing.
Buku ini tak hanya layak dibaca oleh akademisi, peneliti, aktivis, maupun pejabat pemerintah, tetapi juga oleh siapa pun yang percaya bahwa masa depan Indonesia dimulai dari anak muda yang diberdayakan.


